Antara finansial dan sustainability, rasionalkah?

  • Bagikan
finansial dan sustainability (ilustrasi)
finansial dan sustainability (ilustrasi)

Oleh : Lepi Asmala Dewi*

Tulisan ini terinspirasi dari seorang dosen managemen. Beliau menyampaikan bahwa orang marketing dan orang finance sering kali tidak sejalan. Dibenak orang-orang marketing mereka selalu memikirkan bagaimana caranya mencapai target penjualan. Untuk melakukan itu mereka membutuhkan biaya marketing yang tidak sedikit. Dan uang itu mereka minta dari finance. Sebaliknya  dibenak orang-orang finance mereka selalu memikirkan bagaimana caranya mengkeep uang semaksimal mungkin agar tidak keluar dan menghasilkan benefit sebanyak mungkin dengan uang sedikit mungkin. Oleh sebab itu marketing dan finance menjadi “kurang akur”.

Berangkat dari sana, penulis pikir itu juga terjadi dalam banyak hal. Bahwa orang-orang finance di Indonesia yang notabene kebanyakan berasal dari accounting memang akan selalu memikirkan hal tersebut. Contohnya dibidang kerja yang saya geluti. Bukan marketing, tetapi sustainability.

Gampang saja mencari arti kata sustainability di kamus bahasa inggris. Artinya yakni keberlanjutan. Tetapi tidak banyak yang tahu maknanya. Sustainability bermakna sangat luas. Dan digunakan dibanyak hal. Secara sederhana sustainability adalah keberlanjutan dalam tiga aspek yakni keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial. Sustainability menuntut adanya keseimbangan dalam tiga aspek tersebut.

Dalam pelaksanaannya, sustainability hampir sama seperti marketing. Seseorang yang mengurusi masalah sustainability membutuhkan uang sebagai modal untuk mewujudkan keberlanjutan. Tanpa uang, sulit sekali mewujudkan keseimbangan ekonomi, ekologi dan sosial serta membuat roda keberlanjutan berputar. Sedangkan saat ini, isu sustainability sangat trend. Terutama dengan munculnya Sustainable Development Goals (SDGs).

Finansial sawit dan Sustainability

Penulis akan bercerita tentang sebuah perusahaan perkebunan sawit yang sedang berjuang dengan sustainability di perusahaannya. Dalam dunia perkebunan, proses bisnis yang umum dilakukan yakni melakukan pembibitan, penanaman, perawatan, dan pemanenan. Dalam setiap kegiatan tersebut setiap karyawan yang bekerja memiliki risiko seperti kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Salah satu cara mengurangi risiko tersebut yakni dengan melakukan pengendalian menggunakan alat pelindung diri (APD). Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri (APD) tertulis dengan jelas bahwa setiap perusahaan wajib menyediakan dan memberikan APD secara cumacuma kepada setiap karyawannya. APD tersebut juha harus sesuai SNI atau standar lain yang berlaku. 

Dalam kasus diatas, kira-kira apa yang ada dibenak orang sustainability dan apa yang ada dibenak orang finance. Penulis yakin bahwa keduanya menginterpretasikan kasus diatas dengan pola fikir masing-masing. Pada bagian sustainability akan berusaha patuh dengan peraturan untuk mewujudkan keberlanjutan sosial yang menjadi bagian dari tanggung jawab  mereka. Sedangkan pada bidang finance, sekali lagi akan berusaha menahan uang yang mereka kelola. Karena uang yang harus dikeluarkan untuk pembelian APD saja akan sangat memusingkan bagi finance. Belum lagi dengan konsep return of investmen atau return on relationship yang berputar-putar di benak para finance.

Pada benak bidang finance akan terjadi dialog imajiner dengan bertanya-tanya “kapan nih orang sustainability bisa balikin duit gue, dan apa nih benefit yang bisa gue dapet dari beli APD”. Padahal menurut bagian sustainability dampaknya sudah sangat jelas. Dengan APD yang memadai, karyawan akan sehat dan selamat, hari hilang akan berkurang, biaya pengobatan bisa ditekan, dan benefit lainnya. Memvaluasikan dan menyampaikan hal tersebut yang mungkin masih kurang untuk dilakukan.

Pada kasus lain, sustainability VC finance yakni pengelolaan lingkungan. Biaya pengelolaan lingkungan di perkebunan kelapa sawit termasuk cukup besar. Bisnis perkebunan sawit banyak menghasilkan limbah, baik di kebun maupun di pabrik kelapa sawit. Pengelolaan yang dilakukan banyak dimulai dengan melakukan pengurusan izin-izin lingkungan ke pihak pemerintah daerah. Pengurusan izin ini membutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit. Kadang-kadang berbenturan dengan birokrasi yang panjang. Belum lagi kewajiban-kewajiban lain yang harus dilakukan setelah memperoleh izin, salah satunya membangun instalasi pengelolaan air limbah (IPAL).

Setiap jenis limbah baik limbah padat, cair, dan gas semua mempunyai aturan dan harus dipatuhi agar tidak “dituntut” dan perusahaan bisa aman beroperasi. Setelah dikelola, perusahaan juga wajib melakukan pemantauan lingkungan untuk melihat dampak operasional yang dilakukan. Pemantauan ini juga membutuhkan dana yang besar dan biasanya dilakukan secara berkala, 3 bulanan atau 6 bulanan. Tidak hanya melibatkan internal perusahaan, tetapi pihak eksternal yakni laboratorium-laboratorium terakreditasi. Lagi-lagi bidang finance mau tidak mau harus mengeluarkan uangnya untuk sustainability.

Return on sustainability

Pada contoh kasus yang telah penulis sebutkan ialah hanya sebagian kecil contoh yang benar-benar terjadi. Sebaiknya bagi penulis, bidang finance sudah semestinya ada pembelajaran tentang sustainability, begitupun sebaliknya. Sustainability capacity building pun sebaiknya dilakukan untuk setiap fungsi management yang ada di sebuah perusahaan. Ini akan bermanfaat agar setiap perusahaan yang sedang membangun sustainability di perusahaannya dapat benar-benar terwujud.

Bukan hanya sekedar tuntutan sertifikasi atau tuntutan lainnya. Sebaliknya bagian sustainability pun harus sedikit memahami ilmu-ilmu finance. Belajarlah tentang return on investment atau return on relationship. Bidang finance perlu pembuktian bahwa uang yang sudah mereka keluarkan akan kembali dengan benefit yang lebih besar dengan waktu yang singkat. Yakinkan masing-masing pihak dengan memberikan valuasi yang jelas dan terukur. Siapa tahu akan muncul istilah baru return on sustainability. Selain itu juga, top management sebagai pengambil keputusan juga harus berkomitmen dengan kuat untuk mendukung sustainability. Bila ingin sustainability benar-benar terwujud.

*Penulis merupakan Alumni Fakultas Kehutanan IPB, Pernah bergabung di salah satu perusahaan kelapa sawit di Indonesia di bagian sustainability

J/ -ed.

Lepi Asmala Dewi
(foto: istimewa)
  • Bagikan