Beda Jauh, Nasib Petani Indonesia dengan Negara Maju

  • Bagikan
Foto: Petani sedang menanam padi

Mediatani – Indonesia merupakan Negara yang mendapat julukan Negara Agraris. Julukan ini mengacu pada kenyataan bahwa lahan pertanian Indonesia sendiri sangat luas, dengan sebagian besar mata pencaharian penduduk kita sebagai petani. Bahkan hampir semua orang di negeri ini memakan nasi.

Petani, sesungguhnya, harus menjadi tokoh sentral dalam upaya mempertahankan lahan pangan. Sebab, petani masih memegang mayoritas kepemilikan lahan sawah. Sehingga kesejahteraan petani menjadi kunci mempertahankan luas lahan pangan. Jika tidak terjamin, sawah bakal beralih fungsi. Ketahanan pangan tidak lagi jadi prioritas.

Padahal negara kita merupakan penghasil beras peringkat 3 di dunia menurut Farm and Ranch Guidemengalahkan Thailand dan Vietnam. Nah apa yang menyebabkan nasib petani di indonesia masih sungguh ironis? Ini 5 fakta perbedaan petani di Indonesia dengan petani di negara maju.

Pendidikan

Faktor pengetahuan merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam setiap permasalahan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi selalu berhubungan dengan berbagai masalah, terutama di negara berkembang. Pendidikan disini bukan hanya pendidikan formal, tetapi juga pendidikan pertama manusia yaitu keluarga.

Menurut Yotfianfinda (2018), rata-rata pendidikan petani Indonesia masih rendah. Fenomena ini megatur mindsetpetani untuk tidak menurunkan usahanya kepada anak-anak mereka. 

Anak-anak mereka disekolahkan tinggi untuk terjun ke dunia non-pertanian, sehingga keturunan petani tidak bisa meneruskan lahan pertanian milik orang tuanya. Mereka berpikir pertanian tidak membuat sejahtera, sebagian petani bahkan mempunyai dua pekerjaan dan menempatkan usaha taninya pada urutan kedua. 

Dan faktanya memang kesejahteraan petani Indonesia masih rendah karena beberapa hal, salah satunya karena belum terintegrasinya teknologi dalam pertanian. Oleh karena itu, sektor pertanian dianggap tidak keren dan tidak menjanjikan bagi kaum muda. Sektor pertanian belum bisa mengambil hati kaum muda saat ini.

Jika dibandingkan dengan petani di negara Jepang. Pemeritah Jepang fokus untuk mengembangkan petaninya dari skill dan penghasilan, sehingga negara Jepang mempunyai standard pendidikan dalam keahlian bertani.

Gaya Hidup

Gaya hidup petani Indonesia terbilang terbatas, bahkan banyak yang kekurangan. Hal ini karena hasil tani mereka dibayar murah, padahal sampai ke konsumen harganya bisa melejit. 

Masyarakat petani Indonesia memposisikan pertanian sebagai mata pencaharian dan suatu cara kehidupan, bukan suatu kegiatan usaha untuk mencari keuntungan. 

Selain itu, petani Indonesia cenderung hidup statis dan rutin sebagaimana pola kehidupan nenek moyang mereka. Menyimpang dari pola kehidupan lazim dianggap membahayakan keselamatan keluarga. Di desa tidak banyak masalah dan tidak banyak keperluan, karena itu tidak perlu berpikir keras. Semuanya berjalan seperti apa adanya, mengalir seperti air sungai.

Di Thailand para petaninya rata-rata memiliki usaha sampingan dan membuka bisnis taninya, hingga para petani di Thailand dapat memenuhi segala kebutuhan mereka.

Masyarakat pertanian di Negara-negara maju seperti Eropa, AS, dan Australia, mereka hidup dalam desa-desa modern. Mereka menjalankan usaha pertanian dengan menggunakan peralatan modern seperti traktor dan huller. Mereka bertani untuk mendapatkan keuntungan dan hasil pertanian dijual kepasar. 

Karena itu tanaman yang mereka usahakan tidak selalu tanaman pangan, tetapi tergantung pada mana yang menguntungkan. Mereka tidak ubahnya seperti pengusaha ekonomi di perkotaan. Organisasi modern telah diterapkan dalam pola pertanian mereka. Keuntungan yang didapatkan dapat digunakan untuk memperbesar usaha mereka

Kualitas

Banyak kasus menunjukkan bahwa akibat kurangnya modal yang dimiliki kaum tani, memaksa mereka mensiasati dengan pengelolaan sederhana yang tentunya berpengaruh pada kualitas dan kuantitas. 

Misalnya tanaman padi mestinya di berikan pupuk tiga kali tetapi banyak petani karena keterbatasan modal hanya sekali dan dua kali. 

Kenaikan harga BBM telah memicu kenaikan bahan-bahan dan alat kebutuhan untuk pertanian, kurangnya modal membuat petani mikir untuk mengolah lahannya, sehingga banyak diantara mereka yang malah menjual lahannya.

Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini devisa negara yang diperileh dari ekspor produk pertanian masih terbatas. Lagi-lagi penyebabnya produk-produk pertanian kita belum mampu bersaing dengan produk-produk pertanian dari negara-negara lain, terutama dari negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. 

Justru yang terjadi sebaliknya, pasar domestik kita mulai dikuasai oleh produk-produk pertanian luar negeri yang memiliki kualitas lebih baik dan harga yang bersaing.

Teknologi

Indonesia memang masih rendah dibidang teknologi, hal itu membuat petani masih mengolah pertanian dengan cara-cara konvensional yang sangat tidak efisien, boros tenaga kerja, dan butuh waktu lama. 

Penyebab mahalnya teknologi pertanian adalah karena ketidakmanpuan pemerintah dalam menemukan dan menciptakan teknologi untuk pertanian.

Meskipun juga sudah memiliki teknologi termutakhir yang menggunakan traktor, tak jarang ada juga yang masih menggunakan kerbau untuk pengelolahan karena tebilang lebih ekonomis. Lagi-lagi, terkendala finansial.

Berbeda dengan di Jepang mereka sudah menggunakan teknologi yang sangat canggih. Pekerjaan petani di Jepang bukanlah pekerjaan dengan level ekonomi menengah ke bawah. Dalam keseharian para petani di Jepang mereka menggunakan teknologi modern seperti transplanter, sepeda listrik, dan rumah kaca. 

Sebenarnya teknologi tersebut para petani Indonesia ada yang sudah mengaplikasikannya. Namun bedanya, teknologi-teknologi tersebut sudah menjadi standar dalam bertani di Jepang.

Jaminan

Di Indonesia sendiri masih belum memiliki jaminan untuk para petani, karena pemerintah Indonesia sendiri belum memberikan subsidi yang optimal bagi perbaikan nasib dan kehidupan petani.

Berbeda halnya di luar negeri selain jaminan petani yang mengalami gagal panen, petani di Amerika juga mendapat bantuan pengetahuan dan teknologi dari berbagai pihak, terutama universitas. Mereka bisa dengan mudah mendapat informasi bibit unggul terbaru, kondisi cuaca harian, bahkan harga berbagai jenis panenan.

Meskipun negara Indonesia menjadi penghasil beras peringkat 3 dunia. Negara kita masih kalah dalam hal mengembangkan sumber daya manusia dalam negeri. Padahal negara Thailand dan Jepang masih dibawah negara kita dalam hal penghasil beras.

Seandainya pemerintah punya fokus khusus pada nasib petani, tentu Indonesia tak harus membuka keran impor beras yang tidak perlu.

  • Bagikan