Menakar Beras Penyumbang Kemiskinan

  • Bagikan
ilustrasi: buruh tani memanen padi
ilustrasi: buruh tani memanen padi. [Gambar: fotokita.net]

Oleh: Masluki *)

Kebijakan Perberasan
Beras merupakan komoditi pangan pokok yang dikonsumsi 257 juta penduduk indonesia. Total konsumsi beras per tahun mencapai 37.700.000 ton dengan rata – rata perbulan 3,1 juta ton. Sebagai komoditi utama, beras telah menjadi penentu keberlangsungan hidup, kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa. Hingga posisi beras memainkan peran strategis dalam menjaga kedaulatan bangsa.

Membincang stok dan suplai beras menjadi tema – tema segar diberbagai forum – forum ilmiah, sembari berharap produksi tetap memadai, bahkan nawacita menjadi lumbung pangan dunia tahun 2045 dapat segera diraih. Anggaran fantastis untuk memicu produksi tanaman pangan senilai Rp 32.85 triliun pada APBN 2016 melalui Upaya Khusus Pajale (Padi, Jagung, Kedelai). Melalui program mekanisasi, irigasi, subsidi benih dan pupuk serta perluasan lahan sawah 1 juta ha diluar pulau Jawa.

Secara nasional, luas lahan sawah pada tahun 2016 sebesar 8,1 juta hektar, faktanya sawah tadah hujan masih berkisar 4 juta ha. Rata – rata angka kepemilikan lahan secara nasional hanya 0,3 ha dengan produksi 5,1 to/ha. Nilai Tukar Petani (NTP) nasional November 2017 sebesar 103,07 mengalami penurunan pada Maret 2018 berada di angka 101,94.

Data FAO (2017) di Vietnam saat ini yakni US$ 0,31/kg atau Rp 4.120 (kurs Rp 13.290). Harga beras di negara Asia Tenggara seperti Thailand yakni US$ 0,33/kg, Myanmar US$ 0,28/kg, Kamboja US$ 0,42/kg. Sementara harga rata-rata beras di Indonesia yakni US$ 0,79 atau Rp 10.499. Pada taun 2017, harga beras di Indonesia lebih mahal dibandingkan rata-rata harga beras global. Harga beras dalam negeri berada di level US$ 1 /kg, sementara harga beras di pasar dunia hanya sekitar US$ 0,4 /kg setara dengan Rp 5.316.

Sehingga pilihan untuk mengimpor beras jauh lebih menguntungkan dibandingkan memproduksi beras dalam negeri. Meskipun impor beras hanya kebijakan sesaat terhadap ketidakmampuan untuk memenuhi stok beras dalam negeri. Kebijakan impor di tengah musim panen sebesar 500.000 ton pada awal tahun 2018 dengan alasan menjaga stok beras berdampak terhadap psikologi pasar sehingga menyebabkan harga GKP ditingkat petani anjlok.

Tingginya Biaya Produksi
Meskipun upaya swasembada dapat dicapai, peluang untuk ekspor beras hampir mustahil dilakukan ditengah tingginya biaya produksi. Dengan biaya produksi yang lebih besar dengan harga beras dunia, maka berapa patokan harga beras asal Indonesia? Apakah akan mengikuti harga beras dalam negeri yang 1,7 kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan pasar beras dunia? Tentunya beras dalam negeri tidak mampu bersaing dengan negara produsen beras lain yang mampu memproduksi beras jauh dibawah harga beras pasar dunia.

Menurut Bustanul Arifin (2017), biaya per Rp 1 kg beras itu sekitar Rp 4.000, bandingkan dengan Vietnam yang hanya Rp 1.600. Setelah diidentifikasi karena upah buruh sangat besar, untuk pekerjaan 1 kg padi sebesar Rp 1.115/kg, sementara Vietnam Rp 120/kg. Selain itu, biaya panen dan biaya pemeliharaan per 1 kg padi juga tinggi, yakni Rp 1.367/kg. Salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya sewa tanah dan upah buruh lepas. Biaya sewa tanah di Indonesia mencapai Rp 1.115 untuk setiap 1 kg padi. Angka ini lebih besar dibandingkan Vietnam yang hanya mencapai Rp120.Tak hanya itu, biaya sewa lahan juga mencapai Rp1.719 untuk produksi 1 kg padi. Angka ini jauh melampaui biaya sewa lahan di Vietnam yang hanya mencapai Rp387 per kg.

Data BPS (2014), Biaya Produksi padi sawah 12,7 juta rupiah dengan nilai produksi 17,2 juta rupiah sedangkan padi ladang biaya produksi 7,8 juta rupiah dengan nilai produksi 10,3 juta rupiah. Jika di rata – ratakan dalam kondisi normal pendapatan bersih petani padi sawah per 1 ha berkisar 500 ribu rupiah perbulan. Itupun jika tidak terjadi gagal panen akibat serangan hama penyakit, banjir, kekeringan dan ketidaktepatan sarana produksi.

Kondisi lahan sawah dilahan dengan sistem terasering membutuhkan biaya yang lebih tinggi dari rata – rata nasional. Berdasarkan hasil survey Mediatani.co di Kabupaten Cianjur, terjadi penambahan biaya dalam pembersihan pematang, panen dan angkut. Dalam 1 ha lahan upah buruh untuk pembersihan dan perbaikan pematang (tumpanggala) sebelum tanam dapat mencapai Rp. 900 ribu/ha. Biaya panen dan angkut dapat mencapai 30% dari hasil produksi sehingga marjin keuntungan petani sangat kecil.

Meskipun upah buruh harian lepas tergolong tinggi, kendala untuk mencari tenaga buruh di pedesaan tergolong sulit, jika ada, maka pada umumnya berumur tidak produktif diatas 50 tahun. Kebanyakan pemuda desa bekerja sebagai buruh pabrik dengan rata – rata penghasilan dengan standar UMR yang terendah 1,6 juta/bulan.

Memutus Mata Rantai Kemiskinan

BPS (2018) mengurai selama September 2017 – Maret 2018, Garis Kemiskinan naik sebesar 3,63 % , yaitu dari Rp 387,160,- per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp 401,220,- per kapita per bulan pada Maret 2018. Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan.

Pada Maret 2018, komoditi makanan menyumbang sebesar 73,48 % garis kemiskinan. Dalam hal ini beras merupakan penyumbang kemiskinan yang terbesar berada pada angka 18,80 % di perkotaan dan 24,52 % di pedesaan pada September 2017 mengalami kenaikan 20,95% di perkotaan dan 26,79% di pedesaan pada Maret 2018.

Berkaca dari data di atas sudah saatnya mengembalikan kedaulatan pangan secara subtantif. Pangan sebagai hak asasi manusia perlu porsi yang besar, khususnya mengembalikan produksi beras yang efisien sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Rendahnya regenerasi disektor pertanian menandakan bahwa sektor ini sudah harus melangkah ke era mekanisasi secara menyeluruh.

Modernisasi pertanian perlu digalakkan dengan dukungan teknologi dalam negeri sembari menumbuhkan alternatif lapangan kerja di pedesaan. Seiring dengan massifnya pembangunan infrastruktur pertanian dan reformasi agraria. Menciptakan kemandirian benih, pupuk, pestisada dan alsintan. Ketergantungan akan sarana produksi dan alsintan yang begitu besar terhadap perusahaan swasta asing telah menyuburkan praktek kartel dari hulu ke hilir.

Manajemen rantai produksi dan rantai pasok harus diawasi secara ketat sehingga disparitas harga GKG di Bulog dan swasta setelah diolah menjadi beras tidak terlalu jauh ketika sampai pada konsumen. Ketika biaya produksi dapat ditekan maka harga beras dipasaran dapat diturunkan pada kondisi normal. Dampaknya, penghasilan petani padi meningkat, disisi lain konsumen beras khususnya masyarakat kelas menengah kebawah perkotaan dapat menikmati harga beras terjangkau tanpa bergantung pada beras impor.

Menyandarkan sepenuhnya pangan pokok hanya pada beras tentu tidak akan menyelesaikan persolan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk, pelandaian produksi, degradasi lahan, alih fungsi lahan sawah menjadi pemukiman dan penggunaan lainnya. Agenda diversifikasi pangan dengan mendorong potensi sumberdaya pangan lokal seperti sagu, jagung, singkong, jewawut, sorgum dan lainnya harus segera digalakkan. Pangan alternatif perlu dilestarikan dan dibudayakan secara nasional sehingga kemandirian dan daya saing produk pangan dapat dipertahankan secara berkelanjutan.

Masluki (Foto: istimewa)
Masluki (Foto: istimewa)

*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura IPB

  • Bagikan