Sudahkah Kita Berlaku Adil Pada Petani Tebu?

  • Bagikan

Mediatani.co – Riak suara penolakan dari masyarakat terutama petani tebu atas pemberlakuanĀ Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) komoditas gula memang sudah cukup lama menggema.

Kebijakan tata niaga gula memang terus menimbulkan gejolak. Setelah sebelumnya Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) gula dan mewajibkan lelang gula rafinasi, pemerintah juga membuat aturan monopoli tata niaga gula konsumsi.

Aturan ini dimuat dalam surat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian lewat nomor S-202/M.EKON/08/2017 yang mengatur bahwa yang membeli gula petani dan gula pabrik gula milik BUMN hanya Bulog dangan harga Rp 9.700 per kilogram.

Kebijakan ini diakui oleh Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia ( APTRI) Soemitro Samadikoen membuat banyak petani yang enggan menanam tebu karena harganya rendah dan penjualannya tidak lancar.

Apalagi pemerintah juga mengimpor gula lebih besar daripada kebutuhan. Jika pada 2016 kebutuhan gula konsumsi sebesar 2,7 juta ton dan produksi gula dalam negeri 2,3 juta ton, namun nyatanya pemerintah menerbitkan izin impor gula 1,6 juta ton sehingga ada kelebihan stok sebesar 1,2 juta ton.

Akibatnya, kelebihan kelebihan impor gula tahun 2016 tersebut membanjiri pasar tahun ini. Walhasil stok membeludak dan gula petani tidak bisa terserap pasar.

Ribuan ton gula konsumsi menumpuk di gudang, belum terjual. Diperkirakan jumlah gula yang menumpuk di gudang tersebut mencapai lebih dari 300.000 ton baik yang merupakan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perkebunan maupun milik para petani.

Menurut Soemitro penumpukan ini menyebabkan banyak gula petani juga bertumpuk pabrik-pabrik penggilingan gula. Dia menambahkan bahkan stok gula petani yang menumpuk diprediksi mencapai 300.000 ton.

Bahkan gula-gula itu diperkirakan tidak akan terjual sampai akhir 2017. “Agar petani tidak terus merugi, kami menjual stok gula itu ke pedagang karena harganya lebih tinggi daripada pembelian Perum Bulog,” ujar Soemitro seperti yang dirilis KONTAN, Rabu (25/10). Namun karena pedagang tidak bisa membeli dalam jumlah banyak, akhirnya stok gula petani masih menumpuk di gudang.

Menurut dia, petani gula bisa menjual gula ke pedagang dengan harga Rp 9.900 per kilogram (kg). Harga itu lebih baik dibandingkan dengan harga pembelian Bulog yang sebesar Rp 9.700 per kg. Soemitro menyayangkan kebijakan Bulog yang membeli gula petani dengan harga rendah, padahal gula eks impor saja dijual dengan harga Rp 11.000 per kg.

Petani-Petani Yang Menolak Tunduk

Petani Tebu menolak untuk menjual gula pasir yang mereka produksi kepada Bulog. Pasalnya harga yang dibanderol terlalu rendah bagi petani yakni Rp9.700 per kilogram.

Wakil Sekretaris APTRI Jawa Barat Didi Junaidi mengatakan, harga gula pasir di tingkat petani seharusnya Rp11 ribu per kilogram merupakan harga yang ideal, karena untuk produksinya pun petani harus mengeluarkan sekitar Rp10.000 per kilogram

Ketika harga di bawah Rp10 ribu tentu akan membuat para petani tidak bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, sehingga harus menjadi perhatian pemerintah.

Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Barat menolak untuk menjual gula pasir yang mereka produksi kepada Bulog dengan harga Rp9.700 per kilogram, mengingat harga tersebut dinilai terlalu rendah.

“Dari APTRI kami menolak menjual gula ke Bulog karena harganya terlalu rendah,” kata Wakil Sekretaris APTRI Jawa Barat Didi Junaidi, di Cirebon, Kamis (26/10/2017).

Menurutnya, harga gula pasir di tingkat petani seharusnya Rp11 ribu per kilogram merupakan harga yang ideal, karena untuk produksinya pun petani harus mengeluarkan sekitar Rp10 ribu per kilogram.

Ketika harga di bawah Rp10 ribu tentu akan membuat para petani tidak bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, sehingga harus menjadi perhatian pemerintah.

“Sekarang Bulog membeli hanya Rp9.700/kg, dan akan sangat memberatkan bagi kami, karena itu kami juga terpaksa mencari investor lain yang berani menawar lebih tinggi,” katanya pula.

Didi menambahkan pada musim giling tahun 2017 ini, petani sangat dirugikan oleh adanya kebijakan yang tidak memihak, dengan pemerintah mengeluarkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk gula pasir, dan kebijakan lain yang tidak memihak kepada petani.

Selain itu, gula dari petani sempat disegel dengan alasan tidak sesuai Standard Nasional Indonesia (SNI), tapi sekarang setelah adanya uji laboratorium terbukti gula petani sudah sesuai SNI. “Kebijakan-kebijakan saat ini sama sekali tidak memihak kepada petani, padahal pada tahun lalu harga gula pasir di tingkat petani sampai Rp14 ribu per kilogram,” ujarnya lagi.

Didi mengatakan selain kebijakan yang tidak memihak, peredaran gula rafinasi pun kian marak di pasaran, dan bukan isu belaka, namun sudah dibuktikan oleh para anggota APTRI.

  • Bagikan