Terinspirasi dari Harvestmoon, Sarjana Fisipol UGM ini Memilih Jadi Petani

  • Bagikan
Michael Raffy Sujono (Dipa). Sumber: abc.au

Mediatani – Seorang pria asal Sukabumi, Jawa Barat, baru-baru ini yang mengungkapkan keputusannya untuk menjadi petani, padahal dia baru saja lulus menjadi sarjana dari Fisipol Universitas Gadjah Mada.

Sedikit cerita tentang memilih jalan seorang petani! Ear of rice Seedling,” tulis Dipa di akun Twitternya @tanikelana, pada Jumat (12/6/2020).

Lewat akun Twitter pribadinya Dipa menceritakan kehidupannya pasca dinyatakan lulus dengan gelar sarjana. Ia mengaku langsung memilih jadi petani. Keinginannya tersebut bermula ketika ia bergabung Sekolah Tani Muda.

“Nah, di sana akhirnya aku belajar tentang tanaman, cara buat pupuk dan pestisida nabati, juga belajar langsung ke para petani,” kata Dipa.

Pria yang mempunyai nama lengkap Michael Raffy Sujono atau biasa dipanggil Dipa ini ketika ditanyai melalui whatsApp, mengungkapkan alasannya saat membuat thread di akun Twitternya.

“Sebatas curhat awalnya tetapi ternyata banyak yang respon karena ada keinginan untuk bertani, karena sadar banyak temen yang mau bertani. Dan mengalami kendala yang sama denganku susah akses modal dan susah akses lahan. Aku berharap ini jadi semangat buat temen-temen yang mau bertani juga.,” ungkap Dipa saat dihubungi lewat WhatsApp,Rabu (17/6/2020).

Pria yang menimba ilmu bertani di Bantul, Yogyakarta, itu mengaku belajar berbagai ilmu cocok tanam. Mulai dari nutrisi dan cara membuat pupuk organik cair untuk tanaman, mengunjungi praktisi pertanian alami di Bantul, hingga kondisi soal pertanian.

“Setelah banyak ketemu petani, belajar tanam di kos, jiwa bertaniku yang dipupuk sejak kecil karena main harvest moon makin menjadi. Di situ aku makin yakin, cita-citaku adalah jadi seorang petani,” ungkap Dipa.

Berkarier sebagai petani, Dipa mengaku memulai usahanya dengan dana Rp 2 – 4 juta. Uang tersebut dikeluarkannya untuk membeli berbagai peralatan bertani. Lahan pertanian yang digarapnya, ditanaminya sayuran kangkung, bayam dan cabai. Dalam menggarap lahannya ini, Dipa masih dibantu oleh petani setempat.

Orangtua yang saat mengetahui keputusannya juga malah mendukungnya. “Mereka tidak mempersalahkan, bahkan mendukung keputusan aku. Ini merupakan hal terbaik yang aku punya dan keluarga yang suportif,” ujarnya.

Dipa memulai bertani di Sukabumi dengan menggarap lahan seluas 450 M2 dan berencana memperluas garapannya menjadi 1.000 M2.

“Dia merintis tanam sayur pertama di desa, namanya Aa Yuda dan juga ayahnya. Mereka mempersilahkan aku untuk menggarap lahan yang mereka sewa dari desa, jadi meski sendiri, aku belajar banyak dan dibantu banyak oleh mereka,” kisahnya.

Biasanya Dipa menjual hasil bertaninya pada tukang sayur lokal dengan harga 1.500 per ikatnya. Terkadang sehari ia mengantar 10 ikat, namun ada juga yang membeli langsung dari kebun.

Menurutnya, karena dulu perencanaannya kurang matang jadi ketersediaan sayur di kebunnya masih tidak ada. Sekarang ia berniat untuk menanam lagi agar dapat panen setiap hari.

Pria 22 tahun itu menambahkan perjalanannya bercocok tanam tak semulus yang ia bayangkan. Dipa mengaku mengalami kegagalan.

“Banyak dan sering, aku tanam cabai gagal karena tanahnya kritis, aku tanam timun juga gagal karena tanahnya kritis juga ada resurgensi hama. Di situ belajar kalau tanah yang sehat adalah faktor paling peting dalam budidaya pertanian,” katanya.

Mengenai threadnya di Twitter yang menjadi viral, Dipa tak menyangka karena awalnya ia hanya ingin curhat tentang apa yang dialaminya.

“Nggak menyangka karena cuma curhat aja. Aku sampai sekarang merasa biasa aja,” ujarnya serya tertawa.

  • Bagikan