Pengelolaan Sampah Konvensional Dinilai Kurang Ramah Lingkungan

  • Bagikan
Sebagian besar pengelolaan sampah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia menggunakan metode open dumping dan landfill
Sebagian besar pengelolaan sampah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia menggunakan metode open dumping dan landfill

Mediatani – Populasi penduduk yang semakin meningkat telah memberi dampak yang besar pada lingkungan, seperti meningkatnya volume sampah yang dihasilkan. Perkembangan industri dan teknologi juga telah membuat jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam.

Selama ini pengelolaan sampah yang dilakukan di sebagian daerah di Indonesia masih belum sesuai dengan metode yang berwawasan lingkungan.

Sebagian besar pengelolaan sampah di berbagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Indonesia menggunakan metode open dumping dan landfill. Namun, beberapa daerah juga menggunakan metode pembuatan kompos, pembakaran, pemilahan, dan daur ulang meskipun belum banyak diterapkan.

Metode open dumping disebut sebagai metode yang paling sederhana, dimana sampah dibuang begitu saja di TPA tanpa adanya perlakuan lebih lanjut. Sedangkan metode landfill yaitu sampah diratakan dan dipadatkan dengan menggunakan alat berat lalu dilapisi dengan tanah.

Namun, baik metode open dumping maupun metode landfill ini, keduanya dinilai kurang ramah lingkungan untuk diterapkan karena berpotensi mengakibatkan pencemaran pada air tanah dan juga pencemaran udara.

Sebagian kabupaten atau kota di Indonesia, seperti halnya di Jawa Barat, dalam pengelolaan sampah masih mengandalkan paradigma konvensional, yaitu kumpul-angkut-buang lalu penyelesaian akhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto mengatakan, sampah yang dikirim ke TPA merupakan sampah yang tidak terpilah. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 masih ditemui limbah kategori  limbah beracun dan berbahaya (B3) dan limbah medis dibuang di TPA. Semua limbah tersebut bercampur dengan sampah rumah tangga.

Selanjutnya, di TPA sebagian daerah sampah hanya ditumpuk secara open dumping atau terbuka yang dapat mengakibatkan longsor dan kebakaran yang kerap terjadi di musim kemarau.

“Menumpuk sampah atau hanya memindahkannya. Kondisi seperti ini merupakan pelanggaran aturan perundang-undangan sehingga beban pencemaran dan kerusakan lingkungan serta ancaman kesehatan masyarakat semakin besar,” ujarnya, dikutip pada laman beritasatu.com, Selasa, (10/8/2021).

Hal ini telah diatur dalam kebijakan nasional, seperti UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Selain itu, juga diataur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Kemudian, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 33 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Bank Sampah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 3/PRT/M/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Dengan adanya peraturan pemerintah ini, semua orang yang menghasilkan sampah harus bertanggung jawab untuk memilah dan mengolah dengan multiteknologi ramah lingkungan.

Gerakan Pilah Sampah

Seiring dengan perkembangan teknologi, kemajuan pembangunan, industri, gaya hidup yang serba digital dan modern maka sudah sepatutnya pemerintah kabupaten atau kota juga mengubah paradigma pengelolaan sampah. Salah satunya dapat dilakukan dengan berpedoman pada paradigma baru yakni pilah-kumpul-olah atau kumpul-pilah-olah.

Memilah dan mengolah sampah perlu dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif oleh pihak pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Melihat kekurangan dari pengelolaan sampah yang masih konvensional tersebut, sudah seharusnya pemerintah tidak tinggal diam.

Untuk itu, pemerintah Jawa Barat mengeluarkan Surat Edaran Nomor 130/PBLS.04/Perek tentang Gerakan Pilah Sampah dari Sumber dengan target pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70% pada 2025.

Provinsi Jawa Barat sebelumnya telah memiliki Perda Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah.

Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto pun menyambut baik kemauan dan semangat Gubernur Jabar Mochamad Ridwan Kamil menuju penerapan paradigma baru pengelolaan sampah.

Berdasarkan Surat Edaran tentang Gerakan Pilah Sampah dari Sumber, Gubernur Jabar Ridwan Kamil meminta kepada bupati atau wali kota untuk melakukan gerakan pilah sampah dari sumbernya. Hal ini dilakukan melalui bank sampah unit yang berjalan di setiap RT, RW, kelurahan atau desa yakni dan bank sampah induk di tiap kecamatan.

Namun, langkah yang perlu diterapkan yaitu pertama, sosialisasi pemilahan sampah baik organik, sampah anorganik, maupun sampah spesifik (B3) dan didukung dengan gerakan moral masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Kedua, pemerintah daerah wajib menyediakan fasilitas tempat sampah terpilah, yaitu sampah yang dapat dijadikan kompos, dapat didaur ulang, dan residu, di lokasi-lokasi yang strategis beserta penyediaan alat angkutnya.

Ketiga, Melakukan kerja sama pengelolaan sampah dengan bank sampah dan atau aplikator bank sampah. Selanjutnya, pemerintah daerah menyiapkan penanganan yang memadai antara lain untuk penyiapan lahan dan biaya operasional.

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version