Pedagang Daging Sapi Jabodetabek Sepakat Mogok, Alasannya karena Harga

  • Bagikan
ILUSTRASI. daging sapi impor/bisnis tempo/IST

Mediatani – Para pedagang daging sapi di wilayah Jabodetabek telah bersepakat untuk melakukan mogok berjualan bersama dalam jangka waktu tiga hari. Lamanya waktu itu terhitung mulai Rabu (20/1/2021) hari ini, hingga pada hari Jumat (22/1/2021) mendatang.

Sekretaris Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) DKI Jakarta, Tb Mufti Bangkit menuturkan aksi mogok jualan itu dilakukan sebagai wujud protes atas melonjaknya harga daging sapi di rumah pemotongan hewan.

Mukti mengungkapkan saat ini, harga per kilogram daging sapi yang belum dipisah antar tulang dan kulitnya sekira Rp 95.000.

Harga itu pun dinilai terlalu tinggi untuk kembal dijual di pasar.

“Ditambah biaya produksi, ekspedisi total sudah Rp 120.000-lah. Sementara, harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah adalah Rp 120.000. Belum biaya karyawan, belum pelaku pemotong sendiri kan harus (memberi uang ) anak istri di rumah,” kata Mufti melalui telepon, Selasa (19/1/2021) dikutip dari Kompas.com, Rabu, (20/1/2021).

Menurut dia kenaikan harga daging sapi ini justru merugikan pedagang. Lantaran hal itu melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Dampaknya, masyarakat pun enggan untuk membeli daging sapi lagi.

“Kasihan masyarakat kalau kami naikan terlalu tinggi harganya. Tidak ada yang beli nanti,” tutur Mufti.

Dia melanjutkan, melambungnya harga daging sapi itu sudah dirasakan sejak empat bulan terakhir. Bahkan pihaknya memprediksi kenaikan akan terus terjadi hingga April 2021.

“Diprediksi akan naik terus hingga bulan Maret atau April mendatang dengan harga tertinggi Rp 105.000 per kilogram per karkas. Sekarang ini harganya, per karkas masih Rp 94.000,” kata dia.

Harapan pedagang daging sapi

Dengan penuh harap, dia meminta pemerintah pusat agar kembali mengimpor daging sapi dari Australia.

Dia menilai kebijakan ini mampu menstabilkan harga daging di pasaran, sehingga nantinya tidak merugikan pedagang atau pun pembeli.

“Australia yang market terbesarnya sejak 30 tahun mereka semena-mena jual dengan harga sapi tertinggi. Sapi yang dikasih Australia ke Indonesia sedikit sekali, tidak cukup dengan permintaan pemerintah,” ungkap Mufti.

Sekarang ini, dia menambahkan, Australia justru lebih banyak menjual daging sapi ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, semisal Vietnam dan Thailand.

“Kebijakan Australia yang menjual ke negara lain ini harus kita minta ke pemerintah untuk ambil jalan diplomasi dengan acuan kita adalah member (impor daging) selama puluhan tahun,” ujar Mufti.

Mufti mengemukakan pihaknya telah mengirim surat ke Provinsi DKI Jakarta dan beberapa kementerian terkait guna menyampaikan keluhan seputar kenaikan harga daging.

Meski begitu, setelah satu minggu berlalu, dia mengaku tak mendapat respons apa pun.

“Kami sudah layangkan surat sebagai asosiasi DKI melayangkan surat ke Kementerian Perdagangan dan Pertanian ke Kantor Staf Presiden tertanggal 11 Januari,” kata Mufti.

Mufti berharap perwakilannya nantinya dapat bertemu Presiden Joko Widodo untuk memutuskan solusi terbaik mengenai permasalahan harga daging di pasaran.

Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Sarman Simanjorang menilai, pemerintah kurang terbuka mengenai data persediaan atau stok daging sapi.

Padahal lanjut dia, data itu diperlukan pedagang daging sapi di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi kenaikan harga.

Oleh karenanya, Sarman harap dalam waktu dekat ini pemerintah pusat bisa memberikan solusi agar para pedagang daging sapi tak kesulitan lagi di masa pandemi Covid-19.

“Menurut hemat saya, ini (data persediaan daging) harus dibuka secara transparan… berapa sih stok sapi hidup kita, lalu berapa sih sapi yang siap potong,” kata Sarman. (*)

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version