Mediatani – Pertanian cerdas atau smart farming disebut-sebut bisa menjadi salah satu solusi dalam mengatasi keterbatasan lahan di Indonesia.
Pertanian cerdas menerapkan berbagai teknologi canggih seperti sensor, Internet of Things (IoT), robotika, analisis big data, serta kecerdasan buatan pada proses pertanian. Berbagai teknologi itu dianggap dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan pertanian.
Haryo Prastono, insinyur ahli pertama di Pusat Penelitian Hortikultura Pusat Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa pertanian cerdas berbasis pada metode pertanian presisi.
“Meningkatkan kuantitas maupun kualitas produksi dalam rangka mengoptimalkan sumber daya lahan, teknologi budidaya, SDM (sumber daya manusia), dan sumber daya produksi yang lain,” ungkap Haryo.
Ia menambahkan, smart farming diperlukan karena lahan garapan semakin terbatas dan kebutuhan akan produk pertanian yang berkualitas semakin meningkat.
Mathias Prathama, Peneliti Ahli Pertama Pusat Riset Hortikultura BRIN, mengatakan selain keterbatasan lahan, penggunaan air juga menjadi tantangan di bidang pertanian saat ini.
Indonesia sendiri mempunyai banyak sekali lahan kering dan hingga saat ini sebagian besar masih belum dimanfaatkan karena kurangnya ketersediaan air.
Penggunaan air masih belum efisien pada lahan kering yang digunakan untuk pertanian. Terbatasnya ketersediaan air bawah tanah, lahan subur dan menurunnya kesuburan tanah disebabkan oleh dampak perubahan iklim.
“Untuk itu kami menawarkan strategi adaptasi yang berupa penerapan pertanian presisi, yang salah satunya menerapkan fertigasi menggunakan irigasi mikro atau tetes,” kata Mathias.
Fertigrasi adalah aplikasi pemupukan yang dilakukan bersamaan dengan aplikasi irigasi yang mempunyai keunggulan sistem yang sangat hemat unsur hara dan penggunaan air yang efisien.
Irigasi Presisi menggunakan data perubahan iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) atau Automatic Weather Station (AWS) dalam penerapannya, khususnya data evaporasi atau evaporasi.
Setelah memperoleh data evaporasi atau evapotranspirasi, langkah selanjutnya adalah mengadaptasi teknologi pertanian canggih seperti irigasi otomatis, sensor kelembaban tanah atau udara otomatis, sensor hujan, sensor nutrisi atau hara dan sensor lainnya.
Langkah terakhir adalah menerapkan data sebagai bentuk informasi pada teknologi yang maju untuk mengaplikasikan fertigasi yang presisi bagi tanaman para petani
Sementara itu, salah satu narasumber akademisi yaitu Netti Tinaprilla, Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB mengatakan, pertumbuhan penduduk yang pesat berdampak pada kebutuhan pangan, sulitnya regenerasi petani dan terbatasnya lahan pertanian, sehingga semakin membutuhkan penggunaan teknologi tinggi.
Pemerintah saat ini tengah menggalakkan teknologi smart farming menuju Agriculture 4.0 yang diklaim mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas.
Namun, smart fertigasi memerlukan biaya investasi yang relatif mahal, sehingga hasil penelitian lebih ditujukan pada kelompok petani dengan lahan terbuka lebih luas, disertai dukungan akses permodalan dan sarana produksi harga jual yang wajar.