Anggota DPR, Rokhmin Dahuri, menyuarakan keprihatinannya mengenai praktik beras oplosan yang makin sering terjadi. Menurutnya, masalah ini bukan sekadar bikin dompet jebol, tapi juga bisa mengancam kesehatan kita semua.
Beliau menekankan bahwa urusan beras oplosan ini nggak bisa dianggap enteng. Ini masalah pangan nasional yang serius, menyangkut keselamatan makanan yang kita konsumsi sehari-hari.
“Efeknya nggak cuma soal duit. Pembeli jadi ketipu, beli beras yang harusnya kelas biasa, eh, dilabelin premium. Jadi, bayarnya lebih mahal dari kualitas yang didapat,” ujarnya saat diwawancarai di Jakarta.
Lebih lanjut, Rokhmin menjelaskan bahwa dari sisi kesehatan, beras oplosan ini bahaya banget. Soalnya, ada standar kualitas tertentu yang harus dipenuhi kalau beras mau dibilang premium. Misalnya, kadar airnya maksimal 14 persen, dan beras patahnya nggak boleh lebih dari 9 persen.
Kalau beras nggak memenuhi standar tapi tetap dijual sebagai beras premium, konsumen bisa rugi dari segi gizi dan keamanan pangan.
“Kalau ngomongin soal ketahanan pangan, itu nggak cuma soal banyaknya produksi, tapi juga soal mutu dan keamanannya. Ini nyangkut nutrisi yang masuk ke tubuh kita,” tegasnya.
Rokhmin juga menyoroti dampak beras oplosan bagi petani. Menurutnya, praktik ini nggak bikin petani kecipratan untung dari selisih harga yang ditarik dari konsumen.
Faktanya, harga gabah tetap ditekan di angka Rp6.500 per kilogram, sementara harga beras di pasaran terus meroket.
“Petani tetap jadi korban. Padahal pemerintah bilang stok beras Bulog lagi tinggi-tingginya dalam 57 tahun terakhir, tapi kok harga di pasar tetap naik? Ini kan aneh, harus diperhatikan,” kata profesor dari IPB itu.
Selain itu, ia juga mengungkap bahwa sebagian besar stok beras yang diklaim melimpah itu bukan dari hasil panen lokal, melainkan sisa impor dari pemerintahan sebelumnya yang jumlahnya mencapai sekitar 1,5 juta ton.
Dia pun mendesak agar pemerintah berani jujur dan terbuka dalam menyampaikan data ke masyarakat.