Beternak Ayam Kampung, Modal Kecil Ciptakan Cuan dan Cepat Balik Modal

  • Bagikan
Beternak ayam kampung secara sederhana
Beternak ayam kampung secara sederhana

Mediatani – Tak bisa dipungkiri bahwa bisnis ternak ayam kampung jadi salah satu usaha yang menjanjikan. Dari tahun ke tahun, permintaan daging ayam ini selalu naik.

Semakin banyak restoran hingga warung pinggir jalan yang menjual santapan menu ayam kampung.

Harga karkas ternak satu ini pun juga relatif stabil dibandingkan ayam potong pedaging atau broiler yang kerap kali anjlok di tingkat peternak, terutama di peternak mandiri.

Pendamping kelompok peternak ayam kampung PT Sumber Unggas Indonesia, Febroni Purba, mengatakan harga jual ayam kampung lebih mahal karena kualitas dagingnya yang berbeda dengan ayam pedaging broiler.

Di samping itu, persepsi bahwa daging ayam kampung lebih sehat, membuat konsumsinya di Indonesia terus meningkat.

Jenis ayam kampung yang tengah populer dibudidayakan peternak di Indonesia yakni ayam kampung KUB.

“Peternakan ayam kampung kini semakin diminati tidak hanya dari pendatang baru atau pemula saja tetapi juga dari peternak ayam broiler,” jelas Roni, sapaan akrabnya melansir dari kontan.co.id, beberapa waktu lalu.

“Ambruknya harga jual ayam broiler sepanjang tahun 2019 lalu hingga memasuki triwulan tahun 2020, membuat sejumlah peternak ayam broiler beralih memelihara ayam kampung berkapasitas 5.000-10.000 ekor,” kata dia lagi.

Bicara modal, sambung Roni, ternak ayam kampung bisa dimulai dari pekarangan rumah.

Untuk kamu yang pemula, ayam kampung bisa dipelihara di kandang dengan kapasitas mulai dari 300 untuk peternak pemula.

Menurut Roni, modal untuk memelihara ayam kampung sebetulnya relatif terjangkau mulai dari anak ayam (DOC), hingga bisa panen pada umur 70 hari mencapai Rp 29.000-Rp 30.000/ekor dengan berat rata-rata 0,9-1 kg.

Apabila ayam kampung dipasarkan sendiri ke konsumen akhir seperti restoran atau perumahan, harga karkas ayam kampung tentu lebih menjanjikan.

“Jika memelihara 300 ekor membutuhkan Rp 9 juta. Di luar biaya kandang. Harga jual di pasar bisa mencapai Rp 50.000/ekor. Pendapatan bisa Rp 10.000-Rp 20.000 per ekor,” tutur Roni.

Usaha ayam kampung juga bisa dijadikan usaha sampingan, karena pemberian makan bisa diberikan dua kali sehari.

Bahkan sejumlah peternak cukup sekali saja memberikan pakan dengan wadah pakan yang lebih besar.

Balik Modal  

Sementara itu, untuk perhitungan balik modalnya, Roni mengilustrasikan pemeliharaan ayam kampung sebanyak 300 ekor dengan modal Rp 9 juta di luar kandang.

“Tergantung memelihara berapa ekor. Misalnya 300 ekor dikalikan Rp 30.000 berarti Rp 9 juta. Kalau memelihara hanya satu periode saja menunggu selama 70 hari maka satu tahun ada 4 periode,” terang Roni.

Perhitungannya, dalam satu periode pemeliharaan dari DOC hingga panen selama 70 hari, per satu ekor ayam diperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.

Sehingga jumlah ayam 300 ekor bisa menghasilkan untung Rp 3 juta, dengan catatan tak ada kematian selama pemeliharaan.

Risiko kematian karena penyakit unggas bisa dihindari dengan melakukan vaksinasi pada ayam. Artinya, dengan perhitungan tersebut, peternak sudah balik modal kurang dari setahun.

Pasar ayam kampung juga cukup luas. Selain dijual ke bakul, ayam bisa dijual langsung ke pedagang ayam potong di pasar.

Jika ingin mendapat harga lebih tinggi, peternak bisa menjualnya langsung ke konsumen akhir dalam bentuk olahan.

“Pertama pasar tradisional karena di sana. Masyarakat atau konsumen mencari ayam kampung. Tapi kalau ayam dipotong sendiri kemudian diolah menjadi karkas atau ayam bumbu maka bisa dijual di supermarket atau jual secara dalam jaringan (online). Harganya bisa meningkat 20-30%,” ungkap dia.

Menurut Roni, ayam kampung memiliki pasar tersendiri dari ayam potong broiler karena memiliki peminat tersendiri, terutama bagi mereka yang percaya daging ayam kampung lebih enak dan menyehatkan karena memang dagingnya relatif lebih rendah kolesterol.

Ini membuat harga ayam kampung tetap stabil meski harga ayam broiler tengah merosot di pasaran.

“Ayam kampung tentu lebih unggul dari sisi kualitas nutrisi. Paling tidak kandungan lemak ayam kampung lebih rendah ketimbang ayam broiler yang kandungan lemaknya sangat tinggi,” ujar dia.

Roni yang juga mengelola restoran ayam kampung NatChick di Cogrek, Parung, Bogor ini menuturkan, permintaan ayam kampung yang terus meningkat bisa dilihat saat pandemi wabah virus corona atau Covid-19.

“Proyeksi permintaan ayam lokal terus meningkat, bisa dilihat dari data statistik ayam lokal yang terus meningkat dari tahun ke tahun,” ucap Roni.

“Apalagi di tengah kasus Covid-19, terjadi perubahan gaya hidup masyarakat yang ingin lebih sehat. Kita tahu bahwa paradigma masyarakat bahwa ayam kampung lebih sehat ketimbang ayam broiler yang kesannya negatif,” imbuh dia.

Untuk pakan ayam kampung, bisa menggunakan pakan ayam broiler pedaging. DOC juga bisa didapatkan di beberapa peternak pembibit atau dengan membelinya langsung di perusahaan breeding seperti PT Sumber Unggas Indonesia di Parung, Kabupaten Bogor.

“Untuk mendapatkan DOC relatif sangat mudah meskipun lokasi penetasan masih terkonsentrasi di Jawa Barat. Di luar Jawa Barat, sudah ada penetasan ayam kampung di Jambi dan Bali yang diproduksi oleh PT Sumbe Unggas Indoenesia,” kata Roni.

“Untuk pakan sampai saat ini disarankan bisa memakai pakan ayam broiler karena kebutuhan nutrisinya yang tidak terlalu berbeda,” tambahnya.

Beberapa risiko usaha peternakan ayam kampung antara lain penyakit unggas, kemudian harga pakan ayam yang naik. Risiko penyakit bisa dikurangi dengan vaksinasi dan menjaga kebersihan kandang.

Sementara mahalnya pakan bisa ditekan ditekan dengan menggunakan ransum pakan racikan sendiri menggunakan sumber lokal seperti jagung, bekatul, hingga sisa makanan yang terbuang.

Untuk sistem ternak ayam kampung semi intensif, anda bisa baca selengkapnya dengan klik di sini. (*)

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version