Mediatani – Geliat ulat Hongkong yang masih berbentuk larva memenuhi puluhan wadah kotak berukuran 60 x 120 centimeter di rumah Imam Hanafi (6/11/2020), lalu.
Selain ulat, ada juga kumbang hitam jenis alphitobius diaperinus yang dibudidayakannya. Ya, Imam sudah setahun terakhir membudidayakan ulat dengan nama latin lesser mealworm yang biasa dipakai pakan tambahan bagi burung kicau.
Bagi dia, geliat ulat di tangannya bukan sesuatu yang menggelikan atau bahkan menjijikkan. Sebaliknya, ulat tersebut menjadi berkah baginya.
Imam mengisahkan, awal dia membudidayakan ulat kandang sejak setahun lalu, tepatnya saat dirinya menghabiskan banyak uang untuk membeli ulat kandang sebagai pakan burung piaraannya.
”Akhirnya saya coba budidaya sendiri dan Alhamdulillah ternyata bisa,’’ ujar dia kepada Jawa Pos Radar Jombang dikutip mediatani.co, Selasa (23/2/2021).
Ulat itu merupakan larva dari kumbang hitam berukuran kecil. Dia membelinya dengan harga Rp 28 ribu/kilo dari seorang pembudidaya lain. Kumbang tersebut lalu kemudian ditempatkan dalam sebuah wadah terbuat dari kayu berukuran 60 x 120 cm.
”Kumbang ini kita tempatkan di kotak selama 12 hari. Kita beri makan bonggol jagung dan serbuk gandum atau polar,’’ tambah dia.
Selama 12 hari, kumbang tersebut akan melahirkan larva-larva kecil yang berukuran mikro. Larva tersebut kemudian dipisah dan ditempatkan pada wadah yang lain selama 12 hari.
”Kita beri makan ampas tahu selama 12 hari, lalu ulat itu akan membesar dan baru bisa dijual di usia 14 hari,’’ papar dia.
Sebelum usia 14 hari, ulat tersebut belum bisa dijual karena ukurannya yang terlalu kecil. Akan tetapi, pertumbuhan ulat juga dipengaruhi musim. Misalnya, pada musim hujan, ulat akan sulit tumbuh karena suhu menjadi lembab dan wadah kayu yang ditempati ikut lembap.
Sebaliknya, ulat akan cepat tumbuh jika cuaca panas. ”Kita kendalanya selama ini juga kesulitan membeli ampas tahu. Karena seringkali dibeli duluan peternak sapi maupun kambing,’’ kata dia.
Budidaya ulat Hongkong ini diakuinya cukup menjanjikan. Ia pun bisa memanen dan menjual ulatnya dalam waktu 3-4 hari sekali. Namun hal itu pun tergantung dari banyaknya petak ulat yang dimiliki. ”Omzet per bulan paling sepi Rp 3 juta, dan kalau ramai bisa sampai Rp 6 juta,’’ ungkapnya.
Selama ini, Hanafi masih memasarkan ulatnya ke beberapa penjual pakan yang ada di Jombang dan Mojokerto. ”Karena usia ulat ini hanya 30 hari, jadi tidak bisa kirim jauh-jauh,’’ pungkasnya.
Ulat hongkong atau mealworm sendiri merupakan ulat yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi berguna bagi pedagang burung. Selain itu berguna juga bagi Pengembangan pengujian di Laboratorium karena ulat hongkong ini memiliki banyak kandungan protein dan kalori yang dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan nematode entomopatogen di laboratorium.
Proses perkembang-biakan ulat ini menjadi kumbang membutuhkan waktu lama, dan butuh kesabaran untuk diperoleh hasil optimal. Karena itu, banyak juga yang memulai dengan memasukkan ulat hongkong yang telah berubah menjadi kumbang agar prosesnya lebih cepat.
Pengontrolan pun dilakukan tiap hari, khususnya untuk memeriksa ketersediaan pakan, sekaligus membersihkan sampah bekas makanan atau bekas kulit dari ulat hongkong.
Pada budidaya ulat hongkong ini sebenarnya tenaga yang dicurahkan relatif sedikit. Hanya sekadar memberi pakan dan pembudidaya rajin memonitor perkembangannya. Hanya saja waktunya cukup lama sehingga diperlukan kesabaran tersendiri.
Dalam melakukan perbanyakan Nematode entomopatogen atau sering dikenal Nematoda Patogen Serangga di laboratorium, fase ulat hongkong yang di gunakan adalah fase larva, karena fase larva banyak mengandung protein dan kalori yang sangat dibutuhkan oleh Nematoda entomopatogen dalam memperbanyak diri.
Nematoda entomopatogen adalah agens pengendali hayati hama tanaman yang sangat potensial, karena secara aktif mencari serangga inang sasaran sehingga dapat untuk mengendalikan hama-hama yang berada dalam jaringan tanaman sehat maupun jaringan tanaman yang sudah mati.
Keuntungan dalam pengendalian hayati dengan nematoda entomopatogen yaitu menghemat biaya dan produk yang dihasilkan akan bebas dari residu pestisida, sehingga mampu memenuhi standar ISO 14000. (*)