Mediatani – Berkebun merupakan salah satu hobi yang disalurkan oleh sebagian besar masyarakat untuk mengisi waktu luang yang dimilikinya selama di rumah pada masa pandemi. Ada yang menjadikan hobi tersebut sebagai bisnis lantaran pada beberapa jenis tanaman dibandrol dengan harga yang fantastis.
Tanaman Janda Bolong atau Monstera adansonii yang paling menjadi soroton pecinta tanaman hias. Selain dinilai memiliki keindahan yang unik, tanaman hias mahal ini juga ternyata mampu mendatangkan atmosfer kesejukkan ketika disimpan di dalam ruangan.
Salah satu penjual tanaman ini, Josh (30) mengatakan, bibit tanaman janda bolong dijual paling murah seharga Rp 2 juta-Rp 3 juta. Jika dirawat beberapa waktu, bibit tanaman yang tumbuh dengan baik bisa dijual hingga Rp 5 juta.
Namun alasan lain mengapa monstera booming di masyarakat lantaran adanya cerita mengenai seorang petani di daerah Bogor yang berhasil menjual tanamannya kepada orang Jepang dengan harga mencapai Rp 120 juta.
“Tadinya monstera jenisnya masih sangat langka di Indonesia. Nah dia punya jenis Variegata. Kemudian ada orang Jepang beli tanamannya sekitar 120 juta, hanya 6 daun,” kata Josh dilansir dari Kompas, Rabu (30/9/2020).
Karena kejadian itu, popularitas monstera meningkat pesat. Alasan lainnya adalah adanya kombinasi warna putih dan hijau pada daun Janda Bolong. Selain itu, munculnya corak unik atau variegata (var) pada daunnya. Sedangkan corak alami itu tidak sembarangan muncul disetiap tanaman janda bolong.
Keunikan bentuk daunnya itulah yang membuat tanaman janda bolong ini tampak sangat eksotis. Tak hanya indah di tempatkan di taman terbuka, janda bolong juga sangat cocok dijadikan tanaman indor.
Bahkan banyak cafe maupun restoran yang memanfaatkan tanaman ini sebagai hiasan untuk interiornya.
Ada beberapa teori yang mengatakan lubang pada daun tanaman janda bolong berfungsi untuk menahan angin kencang sehingga daun tidak mudah robek. Karena hal itu, jumlah daun janda bolong juga ikut menentukan harga. Jika ukurannya sudah cukup besar, tanaman hias ini akan dihargai per helai daun.
Namun menurut beberapa pihak, alasan tersebut bukan penyebab utama melambungnya harga Janda Bolong. Pasalnya, jenis tanaman ini tidak begitu dicari oleh masyarakat pada beberapa waktu lalu. Jika kita ingat ke belakang, jenis tanaman yang hits dan menjadi tren adalah anturium, aglaunema, dan sebagainya. Sempat dijual dengan harga fantastis, kini harga tanaman itu sudah mulai turun, tidak setinggi di masa puncak popularitasnya.
Opini terhadap fenomena pasar Janda Bolong
Ekonom dari Institute Development of Economics and Financial (Indef), Bhima Yudhistira menyebut fenomena semacam ini disebut sebagai gelembung ekonomi atau bubble economy. Teorinya itu menyebutkan dimana harga aset menyimpang jauh dari nilai intrisiknya.
Bhima menjelaskan, dalam sejarahnya fenomena ini pertama kali tercatat pada 1637. Saat itu, bunga tulip dihargai 3.000-4.200 Gulden di Eropa. Charles Mackay dalam bukunya mengatakan bahwa harga tulip tersebut bisa melambung tinggi karena adanya pasar irasional.
“Di Indonesia ini terjadi berulang pada saat booming ikan louhan, daun anthurium, sampai batu akik (ini) menunjukkan adanya gejala irasionalitas di pasar,” jelas dia.
Sementara itu, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Syariful Mubarok menyebutkan, harga tanaman ini melambung naik bukan karena teknik budidaya yang sulit melainkan bentuk dari permainan harga.
Berbagai pendapat tentang permainan harga itu biasa disebut dengan Monkey Bisnis. Seorang peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag mengatakan bahwa monkey business sejatinya adalah aktivitas bisnis yang berorientasi jangka panjang untuk menguntungkan diri sendiri dan berimbas merugikan orang lain. Meski barang-barang yang dijualnya seringkali halal.
Bisnis terjadi karena pihak inisiator memiliki orientasi jangka panjang berupa menciptakan suatu kondisi/pola ketergantungan, sehingga kelak ia bisa mempermainkan sebuah harga terhadap suatu barang di pasaran. Setelah ia meraup sebuah keuntungan, kemudian ia pergi meninggalkan konsumen.