Mediatani – Terkait lonjakan harga jagung, Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) memberikan tanggapan. GPMT menyampaikan bahwa lonjakan ini belum bisa dipastikan kapan akhirnya.
Dilansir dari laman kontan.id, hal tersebut karena sejumlah kondisi yang sedang berlangsung di beberapa negara penghasil jagung terbesar di dunia.
Terkait hal ini, Ketua Umum GPMT Desianto Budi Utomo memaparkan bahwa harga jagung global telah mengalami lonjakan sejak kuartal IV-2021. Pasalnya, terjadinya kekeringan yang dinilai berdampak terhadap aktivitas panen, disejumlah negara produsen dan eksportir jagung, misalnya seperti Amerika Latin dan Amerika Serikat.
Selain itu, lonjakan harga jagung global merupakan dampak dari konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Seperti yang kita ketahui bahwa Ukraina menjadi penghasil jagung dan gandum terbesar yang ada di Eropa. Sehingga, konflik antar kedua negara pun akan mempengaruhi supply global.
“Sampai kapan lonjakan harga jagung tersebut akan terjadi? Tidak ada yg tahu, ketika masalah kekeringan drop, kemudian perang Rusia-Ukraina itu teratasi, baru bisa diprediksi berapa supply (jagung) yang akan tersedia secara global,” ujar Budi, dilansir dari lama Kontan.co.id, pada Selasa (1/3/22).
Menurutnya, kenaikan harga jagung global sebenarnya tidak terlalu signifikan terhadap harga jagung lokal. Pasalnya, sejak tahun 2016, industri pakan dalam negeri telah seluruhnya menggunakan jagung lokal sebagai bahan baku produksi pakan.
Saat ini, jagung lokal tengah dalam musim panen, dan harga rata-ratanya sudah mencapai Rp 5,400 kg – Rp 5,600 kg (KA 15% franco pabrik).
“Tetapi dibandingkan harga jagung impor, harga jagung lokal sudah hampir sama atau mendekati. Jadi tidak berbeda signifikan harga lokal dan impor,” ujarnya.
Sementara itu, di awal 2022, Budi meninjau bahwa permintaan pakan ternak masih hampir sama kondisinya dengan tahun lalu. Hal ini disebabkan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diperketat di beberapa wilayah di Indonesia.
Sekada informasi bahwa permintaan pakan ternak, akan sangat bergantung terhadap konsumsi ayam dan telur, sebab 90% dari produksi pakan ternak itu merupakan pakan ayam.
Sedangkan saat pemberlakuan pengetatan level PPKM, biasanya akan menurunkan daya beli masyarakat, termasuk pada konsumsi masyarakat pada ayam dan telur. Hal ini otomatis akan berdampak pada kebutuhan terhadap pakan ayam.
“Jika dibandingkan 2021, masih tergantung dari daya beli masyarakat dan demand ayam dan telur. Walaupaun ayam dan telur memberikan kontribusi 65% sebagai sumber protein hewani, tetapi sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Jadi kalau daya beli masyarakat turun, otomatis permintaan ayam dan telur akan turun juga, dan demand pakan ayam juga akan turun,” papar Budi.
Meskipun demikian, GPMT berusaha untuk tetap optimistis bahwa permintaan pakan tahun ini mampu tumbuh 5% hingga 6% jika dibandingkan tahun 2021. Tentu saja dengan harapan bahwa kondisi pandemi bisa melandai.