Mediatani – Meski beberapa waktu lalu pabrik pembuatan madu palsu telah dibongkar oleh kepolisian di wilayah Kembangan, Jakarta Barat, beberapa produsen dan peternak lebah madu masih terkena imbas dan kerugian dari tindak kejahatan tersebut. Pasalnya, sebagian masyarakat masih khawatir dengan beredarnya madu palsu itu.
Namun, lain halnya yang dialami oleh peternak lebah madu kele atau klanceng asal Mengwi, Badung, Bali, Made Riawan (34). Ia mengatakan isu tersebut tak terlalu berpengaruh terhadap usaha madunya. Sebab, hampir sebagian besar konsumennya datang dan membeli langsung ke peternakannya.
Melansir dari Kompas, Made Riawan atau yang biasa dipanggil Cupliz ini menceritakan kisah kesuksesannya dalam beternak lebah madu. Peternakan lebah yang dikelola bersama istrinya Ni Nyoman Ariani sejak 2016 itu merupakan buah inspirasi dari peternakan lebah liar orangtuanya yang hanya dikelola secara tradisional.
Peternakan lebah yang dikelola ayah Cupliz, hanya mengandalkan lebah liar yang menghampiri dan bersarang di tempat madu yang disediakannya. Karena ingin lebih mengembangkannya, Cupliz kemudian mencari tahu melalui internet tentang peternakan lebah secara modern dan lebih produktif.
Bukan hal yang mudah bagi Cupliz melakukan usaha itu tanpa pembimbing, kegagalan berulang kali pun harus dilaluinya. Namun, ia tak menyerah begitu saja, ia semakin aktif mencari tahu dan belajar cara mengelola peternakan madu.
Di awal Cupliz mulai beternak, ia mengembangkan lebah Apis Cerana, yaitu lebah yang memiliki sengat. Namun, lebah itu tidak berkembang dengan baik. Alasannya, karena untuk mendapatkan lebah ini, harus masuk ke dalam hutan. Selain itu, lebah ini juga kurang produktif.
Cupliz kemudian memutuskan untuk beralih ke lebah tanpa sengat atau berjenis Heterotrigona Itama yang berasal dari Sumatera. Lebah jenis ini menghasilkan madu kele atau klanceng yang rasanya asam-manis. Lebah ini juga dianggap yang paling produktif dalam menghasilkan madu.
Cupliz kembali mengalami kesulitan. Karena lebah ini bukan lebah asli Bali, Cupliz harus berjuang lebih ekstra lagi untuk mengembangbiakkannya. Tantangan pertama, lebah ini membutuhkan waktu adaptasi dengan iklim, jenis tumbuhan, dan jenis bunganya.
“Mereka pindah ke Bali kan belajar lagi mencari bunga baru,” katanya.
Di awal kedatangan lebah itu, Cupliz biasanya mendapati koloni lebah yang punah hingga ratu lebahnya mati. Hal itu disebabkan karena lebah tak bisa adaptasi dengan lingkungan di Bali. Namun, ada juga yang bisa beradaptasi dan bisa berkembang.
Cupliz menganggap hal ini bagian dari seleksi alam. Setelah mencari tahu apa saja yang dibutuhkan agar lebah ini mudah beradaptasi, ia pun mengetahui bahwa lebah membutuhkan vegetasi dengan cara menanam banyak bunga di sekitar peternakan. Hal ini juga akan memengaruhi jumlah madu yang dihasilkan.
“Tanpa vegetasi yang memungkinkan di lingkungan kita, maka madu tak akan ada karena bunga itu makanan lebah. Kita harus nanam bunga yang banyak dan penghijauan,” katanya.
Selain bunga, yang paling penting adalah menanam pohon yang mengandung getah seperti mangga, manggis, nangka, atau tanaman getah lainnya. Getah ini akan diolah oleh lebah menjadi propolis dan menjadi pot madu. Madu kele memiliki tekstur lebih encer dari madu lebah biasa, karena kadar airnya lebih banyak berkisar antara 30 – 35 persen.
Madu yang dihasilkan dari kele/trigona rasanya juga cenderung asam manis dan pada musim tertentu bisa juga manis atau agak pahit. Untuk madu kele/trigona harganya lebih mahal daripada harga madu lebah biasa, karena produksi madu yg dihasilkan tidak sebanyak madu lebah sengat/apis.
Hal lainnya yang juga harus diperhatikan adalah serangan predator, seperti laba-laba, semut, cicak, dan burung seriti atau walet. Selain itu, iklim terlalu panas juga berpengaruh. Jika terlalu panas, maka propolis dalam sarang mudah meleleh.
Untuk rotasi panen madunya, biasanya sekitar 2 bulan tergantung musim bunga. Sistem yang dipakai untuk panen madu kele ini adalah dengan cara disedot sehingga madu yang dihasilkan lebih jernih dan higienis, dan tidak membuat lebah menjadi stress dibandingkan panen dengan cara diperas.
Di peternakannya saat ini, Cupliz sudah memiliki 150 koloni lebah. Dengan jumlah tersebut, ia bisa menghasilkan rata-rata Rp 10 juta tiap bulan. Namun, Cupliz tak menyebutkan modal awal karena memulainya dari sedikit demi sedikit.
Saat pandemi Covid-19, permintaan madu kele mengalami peningkatan. Madu yang dipanennya tiap dua bulan sekali dari peternakannya selalu ludes terjual. Setiap panen, satu koloni akan menghasilkan 200 hingga 500 mililiter tergantung musim bunga di sekitar lokasi. Tiap 500 mililiter, ia menjualnya dengan harga Rp 350.000.
“Saat Covid ini kan dianjurkan untuk minum madu kele. Entah dipercaya atau tidak bisa menyembuhkan,” kata dia.
Madu yang dihasilkannya itu sangat diminati oleh masyarakat, dan sudah banyak terbukti khasiatnya sehingga banyak konsumen yang memesannya kembali, seperti mereka yang kena maag dan asam lambung. Hal itu membuat pemasaran madunya menjadi lebih lancar.