Mediatani – Masker medis dinilai lebih efektif dalam mencegah penularan Covid-19.
Namun di sisi lain, terdapat masalah lain yang mengintai dari penggunaan masker sekali pakai, yakni limbahnya yang mencemari lingkungan.
Dikutip Minggu (7/2/2021) dari situs berita Kompas.com, menurut data yang dihimpun dari Kementrian Kesehatan, pada 2019, ada sekitar 295 ton/hari limbah medis.
Sementara di sepanjang pandemi Covid-19, jumlahnya meningkat 30 persen.
Masker medis itu sendiri termasuk ke dalam limbah medis.
Tumpukan sampah masker telah terbukti berbahaya dan dapat mematikan bagi satwa liar di alam bebas.
“Ketika masker wajah dibuang, barang itu dapat merusak lingkungan dan hewan yang juga hidup di bumi.” kata Ashley Fruno dari kelompok hak asasi hewan, People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) seperti dikutip CAN yang dikutip Kompas.com.
Ada sejumlah peristiwa yang menunjukkan bahwa masker menimbulkan masalah bagi hewan.
Di Malaysia diketahui monyet kecil terlihat sedang mengunyah tali masker yang sudah menjadi sampah.
Hal itu pun disebut berpotensi membuat monyet tersedak.
Lalu di Inggris, seekor burung camar yang tak bisa bergerak selama seminggu karena kakinya tersangkut di tali masker sekali pakai.
Tali itu sudah mengencang di sekitar kaki burung hingga menjadikan persendiannya bengkak dan sakit.
Pula di Brasil, seorang konservasionis menemukan masker di dalam perut penguin yang sudah mati.
Selain itu, ada pula ikan buntal yang mati di lepas pantai Miami karena terperangkap limbah medis, masker.
Tidak jauh berbeda, aktivis lingkungan di Prancis pun menemukan seekor kepiting mati karena terjerat masker di laguna air asin di dekat Mediterania.
Melihat fakta-fakta itu, dampak terbesar yang ditumbulkan dari masker mungkin terjadi di perairan atau laut.
Masih dari sumber yang sama, menurut data kelompok lingkungan OceansAsia, lebih dari 1,5 miliar masker masuk ke lautan dunia pada tahun 2020.
Diperkirakan ada sekitar 52 miliar masker diproduksi secara global pada tahun lalu.
Selain itu, limbah dari pandemi dikatakannya telah menyumbang 6.200 ton sampah tambahan yang mencemari laut.
Tidak hanya masker, sarung tangan pun juga menjadi masalah baru.
Menurut kepala ilmuwan Ocean Conservacy George Leonard, masker dan sarung tangan sangat bermasalah bagi makhluk laut.
“Sarung tangan bisa disalah-artikan oleh hewan seperti penyu sebagai makanannya,” kata Leonard kepada South China Morning Post.
“Kebanyakan masker memiliki tali untuk dikaitkan ke telinga manusia. Tapi itu juga menjadi bahaya bagi ikan, penyu dan burung laut karena bisa mengikat,” tambah dia.
Potong tali masker
Para penggiat lingkungan mendesak masyarakat dunia agar membuang masker dengan benar dan memotong talinya guna mengurangi risiko hewan terjerat.
OceansAsia pula meminta pejabat negara memberikan denda pada orang-orang yang membuang sampah sembarangan.
Selain itu, penggunaan masker yang bisa dicuci pun terus dikampanyekan agar bisa mengurangi sampah masker sekali pakai.
Masih dilansir Kompas.com, menumpuknya limbah masker sekali pakai itu adalah masalah serius yang tak bisa diabaikan.
Sampah masker yang dibuang sembarangan itu tentunya berpotensi menyebarkan virus.
Selain, juga sampah dapat mencemari lingkungan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), masker sekali pakai harus segera dibuang saat sudah terasa lembap.
Cara membuangnya pula tidak bisa asal-asalan.
Berikut cara membuang limbah medis.
Pertama, bersihkan tangan terlebih dahulu. Lalu lepaskan dari belakang telinga dengan cara melepas kaitan atau tali kepala.
Kemudian lipat lah masker tanpa menyentuh bagian depannya.
Setelah itu, buang segera maskernya ke tempat sampah tertutup.
Terakhir, jangan lupa pastikan kebersihan. Cuci tangannya juga dengan antiseptik berbasis alkohol atau sabun dan air.
Sementara itu, manajer kebijakan dan penelitian untuk Keep Wales Tidy menuturkan bahwa organisasinya telah memperhatikan dampak penggunaan masker.
Organisasi asal Inggris itu menyadari jika masker dan sarung tangan yang sekali pakai banyak ditemukan di trotoar dan taman di seluruh wilayah Wales karena dibuang sembarangan.
Worldwide Wildlife Fund (WWF) pula melaporkan kekhawatirannya itu terkait pembuangan masker yang sembarangan.
“Walau hanya 1 persen masker yang dibuang dengan sembarangan, akan tetap saja mengakibatkan 10 juta masker per bulan yang mencemari lingkungan,” ujar WWF mengutip Kompas.com yang mengutip Independent.
Lebih lanjut dia menjelaskan, masing-masing masker memiliki berat sekitar 4 gram.
Itu berarti, masker dapat menambah lebih dari 40 ribu kilogram plastik di alam.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa masker sekali pakai benar-benar terbuang di tempat sampah dan bukan pada alam terbuka.
Apalagi jika ada kemungkinan masker bisa terlepas saat dipakai atau bahkan tak sengaja jatuh.
Pada akhirnya, hal itu pun menyebabkan masker terbuang tidak pada tempatnya.
Menyikapi hal itu, Laura Riiska dari Keeping Tampa Bay Beautiful memberikan solusinya yakni penggunaan tali pengikat atau lanyard.
Lanyard pun dapat membantu mencegah masker terlepas atau jatuh terbuang.
Maka, masker dapat tetap bisa dibuang pada tempatnya.
KTBB pula meminta para pemakai masker untuk memotong tali pengaitnya itu sebelum dibuang.
Cara itu ditengarai dapat mencegah satwa liar terjerat masker.
Masker kain Di sisi lain ungkap Amanda Keetley selaku pendiri Less Plastic, bahwa tak ada cara yang aman untuk membuang masker wajah sekali pakai.
Jadi untuk menyelamatkan lingkungan, lebih baik masyarakat menggunakan masker yang bisa dicuci sehingga dapat dipakai berkali-kali alias masker kain.
“Apa pun cara yang dilakukan agar membuang masker sekali pakai, itu hanya akan membuat volume sampah semakin banyak dan menumpuk,” kata Keetley.
Dia mengungkap, masker sekali pakai sebaiknya benar-benar digunakan dalam situasi medis.
Di luar daripada itu, Keetley menyarankan penggunaan masker kain.
Mike Bilodeau, direktur regional PlasticOceans untuk Eropa pun mendorong pembuatan alat pelindung diri (APD) seperti masker menggunakan elemen plastik yang dapat didaur ulang dan digunakan kembali.
Dengan begitu, masker yang digunakan lebih ramah lingkungan dalam jangka panjang. (*)