Mediatani – Ada beberapa orang berpendapat bahwa tidak bakat dalam berkebun sebelum mencobanya. Iya, mungkin itu adalah salah satu alasan klasik. Tidak pandai bertanam hanya gegara tak bertangan dingin.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah tangan dingin ini itu merupakan sifat selalu membawa hasil, terutama dalam usaha pertanian, pengobatan, dan sebagainya.
Alasan lainnya, ialah tak memiliki lahan yang luas, tidak punya pekarangan, atau halamannya telanjur dipasang keramik sehingga tidak ada media untuk bercocok tanam.
Namun, kata seorang peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda, itu semua tergantung pada kemauan dan keberanian mencoba hal baru dalam berkebun.
Disadur dari situs berita Antaranews.com Jumat (5/2/2021) Dian mengatakan, siapa pun bisa menerapkan sistem teraponik, yakni suatu sistem yang memanfaatkan lahan kecil menjadi lahan produktif untuk pertanian.
Sistem ini menggunakan tanah, namun umumnya di letakkan dalam kontainer, bukan tanah terbuka di atas bumi.
Sementara itu, bagi mereka yang terlanjur halaman rumahnya dipasang keramik, misalnya, tambah dia, masih ada media tanam hidroponik sebagai salah satu alternatif pilihan.
Cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah (hidroponik) ini biasanya dikerjakan dalam kamar kaca dan dengan menggunakan medium air yang berisi zat hara.
Zat itu meliputi beberapa unsur seperti fosfat, amonium, dan nitrat yang mempengaruhi kesuburan perairan yang menentukan jenis tumbuhan yang hidup di dalamnya. Ciri-ciri ini umumnya dimiliki hidroponik.
Olehnya itu, pendiri start up CitiGrower (inisiatif urban farming berbasis digital) ini menyarankan kepada para pemula agar mengenal seputar tanah, media tanam, dan pupuk sebelum mengawali berkebun.
Hal ini juga pernah Dian Armanda sampaikan dalam dalam Webinar Urban Farming Series III yang bertajuk Optimalkan Tanah Sehat dan Pupuk Organik: Modal Urban Farming Alami, Sabtu (30/1) malam.
Ditegaskan oleh kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini bahwa tanah merupakan media tanam paling natural (organik).
Tanah sehat
Untuk mengetahui apakah tanah di sekitar rumah itu sehat atau tidak, maka perlu dilakukan uji tanah secara sederhana.
Caranya yaitu: pertama, uji komponen tanah apakah berupa lempung (clay), sedimen (silt), dan pasir (sand); kedua, uji asam/basa apakah kelebihan cuka. Apabila berbusa, menandakan tanah basa, biasanya tercemar bahan kimia.
Dian Armanda menjelaskan juga bahwa tanah yang sehat itu menyediakan rumah ideal bagi mikroba dan organisme lain di tanah.
Adapun ciri-cirinya, di antaranya yakni kaya biota, kaya humus dan mineral, gembur dengan komposisi 50:50 padatan versus kantung udara, hitam atau mengandung karbon organik, sirkulasi udara dan air baik, serta derajat keasaman atau pH-nya kurang lebih 7 dengan range 5.5—8.0.
Di samping itu, tanah subur mengandung mikroba yang mampu menyerap karbon di atmosfer (di udara) penyebab global warming, mengembalikan karbon-karbon itu ke tanah.
Tanah juga mampu menyimpan setidaknya 4.000 gigaton lebih banyak karbon daripada atmosfer dan seluruh tanaman yang tumbuh di permukaan tanah sebanyak 1.700 gigaton.
Mereka yang berkebun di perkarangan rumah, pula perlu memelihara tanah sehat dengan maksimalkan keanekaragaman hayatinya dan minimalisasi gangguannya.
Pemeliharaan tanah sehat itu pun meliputi penanaman, pemulsaan, tanaman penutup, irigasi cukup, menggunakan pupuk organik/kompos, rotasi tanaman, rotasi grazing, legum, menjaga perakaran atau hati-hati saat memanen bagian akar, dan digarpu/ditusuk sedikit untuk menambah aerasi (penambahan oksigen ke dalam tanah).
Agar tanah tetap sehat, satu di antaranya ialah pemulsaan atau teknik untuk menjaga tetapnya suhu tanah di sekitar akar tanaman, menahan uap air dalam tanah, mencegah erosi, dan menghilangkan tumbuhnya gulma dan penyakit.
Dian Armanda menyarankan kepada pekebun urban farming, apabila tanah sudah subur, untuk tak mencabut akar tanaman dengan paksa, menginjak tanah, membalik tanah dengan mencangkul atau membajak, dan menggunakan bahan sintetis (pupuk, pestisida, fungisida, dan herbisida).
Selain itu, jangan pula memaparkan tanah langsung ke sinar matahari.
Perbaiki kualitas tanah
Dosen UIN ini pula memberikan tips bagaimana cara memperbaiki kualitas tanah agar sehat kembali, di antaranya jika terlalu asam maka netralkan dengan dolomit, abu vulkanis, abu kayu bakar, arang kayu, atau sekam bakar.
Apabila terlalu basa, dinetralkan dengan serbuk gergaji atau kompos matang sehingga pH-nya 7.
Ditinjau dari komponen dominannya, maka terdapat beberapa cara untuk memperbaiki tekstur tanah sebelum digunakan sebagai media tanam.
Bila komponen dominan berupa lempung, air menjadi sulit lewat, resapan air lama, maka dari itu perlu digemburkan dengan membuat kompos di situ.
Apabila dominan tanah liat, perlu ditambah pasir, dan jangan sampai diinjak/dipadatkan, tambahkan pupuk hijau, lakukan rotasi tanaman dan tanami pohon.
Selanjutnya jika mengalami dominan pasir, perlu ditambah tanah liat plus pupuk cair, tambah pupuk hijau, dan tanami pohon.
“Jangan beri sesuatu yang berlebihan, kecuali kompos,” terang Dian Armanda.
Pada Urban Farming Webinar Series III City Grower, Duta Petani Milenial Shofyan Adi Cahyono mengenalkan sistem pertanian organik dan pembuatan pupuk organik.
Shofyan Adi Cahyono yang juga Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Citra Muda ini mengutarakan bahwa pertanian organik ialah sistem produksi yang menopang kesehatan tanah, ekosistem, dan manusia.
Namun, tambah dia, hal itu bergantung pada proses ekologis, keanekaragaman hayati, dan siklus yang disesuaikan dengan kondisi lokal daripada penggunaan input dengan efek buruk.
Shofyan menjelaskan juga bahwa pertanian organik menggabungkan tradisi, inovasi, dan ilmu pengetahuan untuk menguntungkan lingkungan bersama dan mempromosikan hubungan yang adil dan kualitas hidup yang baik untuk semua yang terlibat.
Budi daya pertanian organik, menurut dia, tak boleh menggunakan pupuk kimia, tak boleh juga menggunakan pestisida kimia, tidak boleh menggunakan hasil rekayasa genetik (GMO), dan lahan telah melalui masa konversi (peralihan).
Pertanian organik itu harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
Dalam hal ini, petani menjual produk organik dengan harga yang menguntungkan, sementara konsumen mendapatkan harga produk organik yang rasional atau terjangkau.
Produk organik itu, baik berupa sayuran maupun buah-buahan, juga bisa berasal dari perkarangan setiap rumah.
Apalagi, pada masa pandemi COVID-19 sekarang ini, berkebun salah pilihan untuk mengisi waktu luang sekaligus menjaga tertularnya virus corona. (*)