Melihat Cara Suku Dayak Menanam Padi di Lahan Gambut

  • Bagikan
Ilustrasi: Prosesi Nugal

Mediatani – Mereka disebut sebagai “orang-orang gambut”, julukan untuk masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan dan perkampungan lahan bergambut.

Gambut sendiri adalah suatu lahan basah yang terbentuk dari materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang mengalami pembusukan serta mengalami penimbunan.

Timbunan tersebut kemudian mengalami penumpukan selama ribuan tahun sehingga membentuk suatu endapan yang sangat tebal. Umumnya, tanah gambut dapat ditemukan di area-area genangan air, seperti cekungan antara sungai, rawa, maupun di daerah pesisir.

Dilansir dari Forestdigest.com, kawasan gambut yang berada di Sungai Negara dan Sungai Barito terkait dengan cara-cara mereka dalam mengolah lahan dan selama ratusan tahun telah membangun sistem pertanian padi, getah, rotan dan jenis tanaman dalam ekosistem lahan gambut.

Padi telah menjadi salah satu bentuk dari kearifan lokal masyarakat suku Dayak dan Banjar yang berbeda dengan cara kita dalam menanam padi  yang berada di daerah perbukitan atau pegunungan. Suku Dayak Bakumpai dan Melayu Banjar mempunyai cara-cara tertentu saat menanam Padi.

Bagi orang Bakumpai dan Banjar, menanam padi di dataran tinggi, sekali semai sampai kemudian menuai disebut dengan manugal. Hasil dari tugalan tersebut kemudian dipindahkan ke lahan yang berada di tepi tegalan. Orang Bakumpai menyebutnya dengan sebutan “malacak”, membesarkan padi hasil dari tugalan dan sebelum “maimbul”.

Aktivitas menanam padi di lahan gambut menurut mereka tidak dapat dilakukan dengan cara menancapkan bilah padi dengan menggunakan tangan biasa (seperti dilakukan di Jawa), tetapi harus dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut tantajuk (dalam bahasa Dayak) atau tutujah (dalam Bahasa Banjar).

Tantajuk atau tutujah sendiri merupakan alat yang terbuat dari kayu jenis ulin dengan bentuk seperti katapel sebagai pegangan tangan sebagai pijakan tangan petani ketika hendak membuat lubang tanam di lahan gambut.

Uniknya, ketika menancapkan tantajuk, petani sendiri tak dapat melihat lubang tanam, itu dikarenakan gambut merupakan lahan basah. Itu sebabnya, saat terbakar, api yang ada di lahan gambut sulit untuk dipadamkan.

Menurut penuturan dari orang-orang Dayak dan Banjar, kebakaran hutan mulai marak terjadi semenjak wilayah mereka didatangi oleh orang dari luar yang membuka lahan untuk keperluan perkebunan dalam skala besar. Selain daripada proyek raksasa sawah sejuta hektare dengan membuat kanal raksasa yang membelah gambut.

Lahan gambut sendiri menyimpan sekitar jutaan air di dalamnya, ketika manusia mengolah gambut dengan cara membuatkan kanal, maka dengan cepat air yang berada di lahan tersebut akan mengering.

Orang-orang gambut tentu sangat begitu paham bagaimana mekanisme alam dalam bekerja. Teknologi serta keahlian mereka dalam bercocok tanam merupakan sebuah pengetahuan yang diturunkan secara turun-temurun selama ratusan tahun.

Maka dari itu, proses rekayasa teknologi dengan membuat lumbung pangan di lahan gambut yang tidak sesuai dengan kondisi keadaan ekosistem tersebut tentu akan berakhir menjadi bencana lingkungan yang terjadi seperti saat sekarang.

Mereka tentu telah paham bagaimana cara untuk bercocok tanam di lahan gambut dengan menggunakan teknologi sederhana yang menggabungkan kearifan lokal dalam menghasilkan pangan secara lestari.

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version