Mediatani – Kisah yang cukup inspiratif datang dari sopir bus yang memilih beralih profesi untuk menggeluti usaha tambak udang di Bantul, DIY. Dia adalah Eko Susanto, seorang pria berusia 37 tahun yang sebelumnya telah bertahun-tahun lamanya menjadi supir di Jogyakarta.
Ketika dirinya bekerja sebagai supir bus, ia memang bisa memperoleh penghasilan yang cukup. Pasalnya, bus jurusan Samas-Jogja yang dikemudikannya kala itu selalu dipenuhi penumpang.
Namun kejayaan itu perlahan sirna, penumpang terus berkurang karena semakin banyak yang telah memiliki kendaraan pribadi. Selain bus, Eko juga mengaku pernah menjajal sebagai supir dump truck.
Setelah bertahun-tahun menjadi supir, pada 2014 dia nekat membeli udang vaname di Pantai Kuwaru dengan uang seadanya. Udang vaname yang sebanyak 10 kilogram itu dibelinya untuk dikemas dan dijual kembali.
Selama dua tahun, dia terus berjualan udang dengan berkeliling. Keuntungan dari hasil penjualan udang dari kampung ke kampung itu telah membuatnya sukses menjadi juragan udang hingga akhirnya berhasil memiliki tambak udang vaname sendiri.
Dilansir dari Harian Jogja, Rabu (17/3), Eko yang sedang bersantai di warung dekat Pantai Samas, DIY menuturkan bahwa dirinya baru saja menabur pakan udang di tambaknya yang berada di pesisir Bantul itu.
“Setiap empat jam sekali diberi pakan. Kalau saya biasanya pukul 06.00 WIB, pukul 10.00 WIB, pukul 14.00 WIB, dan sore hari,” ungkap Eko.
Eko mengaku harus melalui perjuangan berat dan perjalanan panjang untuk bisa sukses menjadi salah satu juragan udang di Jogja. Bahkan, tambahnya, dia sempat berutang untuk membuat tambak milik sendiri.
Untuk membuat tambak baru, Eko mengatakan dirinya membutuhkan dana sebesar Rp100 juta dengan model tambak yang memiliki saluran pembuangan di tengah dan sisi-sisi tambak yang menggunakan asbes.
“Ya enggak cukup tabungannya, ngutang dulu. Saya cuma punya separuhnya, Rp50 juta sisanya ya ngutang,” ujarnya.
Berkat keuletannya dalam memelihara udang, Eko bisa memperoleh hasil yang manis. Harga udang vaname untuk pabrik kini rata-rata berkisar Rp51.000 per kilogram dengan ukuran udang 10 gram. Harga tersebut akan lebih tinggi seiring bertambahnya grade bobot satuan udang.
“Satu kilogram udang bobot 10 gram Rp51.000, untuk yang grade 11 gram Rp54.000, harganya naik terus sampai grade 20 gram harganya sampai Rp80.000 per kilogram,” tuturnya.
Hasil panen udang vaname Eko pun terbilang cukup sukses. Eko menceritakan dirinya pernah melakukan mega panen hingga dua ton udang grade 20 pada tambaknya yang ditebar 100.000 benur.
“Pernah panen dua ton grade 20, artinya Rp80.000 kali 2000 kilogram, bersihnya sekitar Rp70 juta,” ungkapnya.
Meski demikian, tentunya benur yang dibudidayakan Eko tak selamanya selalu berhasil. Selama membudidayakan vaname, juragan udang ini mengaku sudah dua kali gagal panen akibat terserang penyakit.
“Tebaran 50.000 kena penyakit, cuma dapat beberapa kuintal saja, uangnya Rp6 juta, jelas minus,” kata dia.
Menurutnya, budidaya udang memang memiliki prospek keuntungan yang menggiurkan. Namun, persentase kesuksesan usaha budidaya umumnya memang sangat tergantung banyak faktor termasuk cuaca dan penyakit.
Untuk menekan potensi kegagalan panen tersebut, salah satu yang perlu dilakukan hanya dengan tekun menjalankan proses budidaya. Seperti yang setiap hari dilakukan Eko, yang selalu mengecek kondisi tambaknya, mulai dari memeriksa kondisi air, nafsu makan udang, hingga berbagai faktor lainnya.
Kini Eko telah mempunyai jaringan konsumen udang di DIY. Saat musim panen udang, berbagai pedagang akan berdatangan untuk membeli, ada yang dari Indramayu, Semarang, sampai Sidoarjo.
“Harus ulet dan tekun, wong saya juga bisa kaya gini dari nol, enggal ujug-ujug terus sukses gitu, enggaklah,” kisahnya.