Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara Nilai Tata Niaga Unggas Bermasalah, Minta Dialog dengan Kementan

  • Bagikan
Ilustrasi. Aktivitas peternak di kandang/via antaranews.com/IST

Mediatani – Sejak pertengahan tahun 2018 lalu, harga ayam hidup /live bird (LB) diklaim jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP) dan mengakibatkan ratusan ribu peternak ayam rakyat merugi. Kondisi tersebut dinilai karena kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga ayam hidup yang selalu anjlok dari harga acuan.

Dikutip mediatani.co, Rabu (17/3/2021) dari situs kontan.co.id, Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN), Alvino Antonio melalui kuasa hukumnya pun mengirimkan Nota Keberatan kepada Kementerian Pertanian (Kementan) karena dianggap gagal menjalankan kebijakan, terlambat menjalankan kewajiban sesuai kewenangannya, keliru dalam menggunakan data, dan pelaksanaan kewenangan tanpa ada pengawasan.

Sehingga gagal memenuhi kewajibannya secara hukum untuk melindungi peternak rakyat atau mandiri, sesuai dengan Undang-Undang (UU) No.19/2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Peraturan Pemerintah (PP) No.6/2013 Tentang Pemberdayaan Peternak.

“Persoalan utamanya adalah pemerintah gagal mengendalikan supply and demand (tata niaga) unggas sehingga terjadi over supply dan mengakibatkan harga di pasar hancur. Karena itu, kami mengajukan keberatan dan berharap ada dialog dan komunikasi dengan pihak Kementan untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Kuasa Hukum Hermawanto dalam keterangannya, Senin (15/3) dikutip mediatani.co, Rabu (17/3/2021) dari situs kontan.co.id

Hermawanto menjelaskan, kerugian tersebut berdasarkan perhitungan estimasi dari fakta harga jual ternak yang kerap di bawah harga terendah acuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 7 Tahun 2020, yakni Rp.19.000/kg.

Dia bilang fakta tersebut didukung data Kementan yang menyebutkan produksi bibit anak ayam/Final Stock (FS) secara nasional 80.000.000 ekor/minggu. Dengan komposisi peternak rakyat yang hanya 20% dari produksi nasional. Diperkirakan rata-rata kerugian sekitar Rp 2.000/kg.

“Jatuhnya harga unggas live bird akibat over supply, ditambah pula tingginya harga sapronak (sarana produksi peternakan) sangat merusak usaha klien kami dan mengakibatkan timbulnya kerugian secara terus menerus dan berkepanjangan. Bahkan tercatat kerugian yang dialami peternak mandiri yang hanya memiliki 20% kontribusi produksi perunggasan nasional sekitar Rp 5,4  triliun rupiah sepanjang tahun 2019 dan 2020,” jelas Hermawanto.

Diakui Hermawanto, baru-baru ini Kementan melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan berupaya menjaga supply and demand DOC FS ayam ras pedaging dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) Ditjen PKH No.08068/PK.230/F/03/2021 tentang Pengaturan dan Pengendalian Produksi anak ayam (DOC) FS, pada 8 Maret 2021 lalu.

SE yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No.32/Permentan/PK.230/09/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.

Meski demikian, dia menilai Kementan belum melakukan stabilisasi perunggasan secara maksimal berkaitan dengan suplai LB, pakan, dan DOC dengan didukung data yang valid dengan pengawasan dan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang mengabaikan kebijakan pemerintah sesuai kewenangannya. Kementan harus mengganti seluruh kerugian yang selama ini dialami peternak ayam rakyat sepanjang dua tahun terakhir.

“Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, pemerintah berkewajiban untuk menghentikan kerugian yang terus terjadi pada peternak mandiri Cq. Sdr. Alvino Antonio dengan melakukan tindakan sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan mengganti kerugian peternak rakyat sejumlah Rp 5,4 triliun,” imbuh Hermawanto.

Sementara itu, masih di produk unggas sebagaiamana diberitakan mediatani.co, kemarin, sebulan menjelang bulan suci Ramadan, harga telur ayam cenderung turun karena rendahnya daya beli masyarakat. Kondisi ini pun membuat peternak merugi karena melimpahnya pasokan telur ayam yang tidak terjual.

Tidak hanya dihantui oleh harga telur yang turun, peternak pun kini harus menanggung rugi akibat kenaikan harga pakan ayam di saat yang bersamaan.

Melansir, Selasa (16/3/2021) dari situs kontan.co.id, berdasarkan data dari Asosiasi Peternak Layer Nasional, pakan ayam berkontribusi sebesar 68,7% dari Harga Pokok Penjualan (HPP) telur ayam yang dipatok di level Rp 19.500 per kilogram (kg).

Ketua Umum Asosiasi Peternak Layer Nasional Musbar Mesdi menjelaskan bahwa kenaikan harga pakan ayam, utamanya disebabkan oleh melonjaknya harga bahan baku pakan ternak seperti jagung lokal, bungkil kedelai (SBM) dan tepung daging tulang (MBM).

Dirinya menilai, apabila harga telur ayam tak kunjung membaik, maka dia memprediksi akan ada lonjakan produksi afkir ayam pada akhir Maret nanti.

“Apabila harga telur tak kunjung naik hingga akhir bulan Maret 2021, maka peternak kelas Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terpaksa mengafkir indukan produktifnya, dan untuk peternak kelas menengah atas, mereka akan afkir sebagian,” jelas Musbar kepada Kontan.co.id, Minggu (14/3) yang dikutip, Selasa (16/3/2021).

Baca selengkapnya dengan klik di sini. (*)

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version