Mediatani – Komite Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) meminta pemerintah untuk melakukan pengelolaan atau penangkapan sumberdaya perikanan di laut dengan memperhatikan data ketersediaan atau stok ikan.
Berdasarkan data dari Komnas Kajiskan, dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, 7 di antaranya mengalami penangkapan berlebihan (over exploited) terhadap ikan karang.
Jenis ikan karang yang dimaksud antara lain kerapu karang, kerapu bebek, kerapu balong, kerapu lumpur, kerapu sunu, ikan kakatua, ikan tenggiri, dan ikan napoleon.
Ketua Komnas Kajiskan, Indra Jaya mengatakan, ada batas tertentu dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Jika tidak ada langkah antisipasi dan pengelolaan yang baik, bisa mengakibatkan sumberdaya tersebut menjadi collaps.
“Apa yang kita lakukan adalah menahan tekanan tersebut agar stok (ikan) kita sebisa mungkin kembali ke target awal,” ujar Indra Jaya saat menjadi pembicara dalam webinar Optimalisasi Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan di Jakarta, Senin (23/8/2021).
Indra menjelaskan, ketika populasi ikan dari jenis tersebut berkurang tetapi penangkapannya terus meningkat, maka akan berada dalam keadaan eksploitasi berlebihan.
Menurutnya, ada 3 pilar utama yang bisa menjadi acuan pemerintah untuk malakukan pengelolaan ikan yang berkelanjutan, yakni status stok, pengaturan perikanan yang efektif, dan bisnis proses yang berkelanjutan.
Untuk status stok, lanjut Indra, pemerintah bisa melihat data dari Komnas Kajiskan. Penentuan status stok menunjukkan apakah stok ikan telah mengalami penangkapan lebih, atau masih dalam proses mengalami penangkapan berlebih.
Kemudian untuk pengaturan perikanan yang efektif bisa meliputi waktu penangkapan dan jenis ikan apa saja yang boleh ditangkap.
Penangkapan ikan yang tinggi ini tidak lepas dari status ikan kerapu Indonesia yang strategis di pasar global. Pada tahun 2018, kerapu Indonesia mampu menduduki posisi kedua di pasar dunia. Hal itu juga dialami komoditas ikan kakap yang 45 persen stoknya berasal dari Indonesia.
“Pada awalnya stok ikan banyak dan tekanan masih sedikit. Namun kemudian mulai banyak orang menangkap ikan, jadi tekanan penangkapan naik, maka biomassa berkurang. Naik lagi tekanan itu sehingga overfishing,” ungkap Indra.
Merujuk pada data Komnas Kajiskan, penangkapan ikan karang termasuk ikan kerapu sudah dilakukan secara berlebihan di 7 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yakni WPP 573, WPP 572, WPP 713, WPP 714, WPP 717, WPP 715, dan WPP 716.
Dibanding ikan-ikan karang, status ketersediaan ikan jenis demersal seperti ikan kakap masih lebih baik. Dari 11 WPP yang ada, hanya 2 WPP yang berstatus over exploited, yakni WPP 571 dan WPP 713. Sementara enam WPP lainnya berstatus fully exploited, dan 3 WPP dalam kategori moderat.
Meski demikian, kata Indra, pihaknya belum bisa secara resmi menyimpulkan bahwa status ikan kerapu dan ikan kakap di Indonesia sudah berstatus tereksploitasi sepenuhnya dengan mengandalkan data tersebut. Sebab, ada ratusan spesies ikan yang masuk dalam kelompok jenis ikan karang dan demersal.
“Kalau cukup resources pendataan, kami berharap (ada keterkhususan) kelompok jenis ikan ini. Maka kita (akan) keluarkan kakap, karang, dan rajungan (dari kelompok ikan demersal dan ikan karang menjadi kelompok tersendiri). Kunci utama kesuksesan (pengelolaan) harus berdasarkan data yang terukur,” ucap Indra.