Mediatani – Pemanasan global yang disebabkan oleh produksi rumah kaca seperti karbon dioksida semakin menimbulkan kekhawatiran. Pasalnya, jumlah karbon dioksida yang diproduksi oleh manusia terus meningkat dan sekitar 30 persen dari total karbon dioksida tersebut diserap oleh lautan di seluruh dunia. Akibatnya, laut pun semakin bertambah asam dan memanas.
Berdasarkan Laporan dari Special Report on Ocean and Cryosphere in a Changing_Climate (SROCC) menyampaikan beberapa catatan penting bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan di kawasan tropis akan mendapat dampak besar dari perubahan iklim.
Pertama, keanekaragaman hayati laut menjadi terancam, karena perubahan iklim akan membuat ritme musiman dan distribusi spesies laut menjadi berubah. Sejak tahun 1950an, spesies laut di seluruh dunia yang memiliki habitat di kedalaman kurang dari 200 meter berpindah menjauhi kawasan tropis sekitar 52 kilometer per dekade.
Hal serupa juga dilakukan oleh spesies-spesies laut dalam. Dengan beragamnya spesies laut di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang ritme musiman dan distribusi yang terjadi.
Kedua, laporan SROCC menekankan bahwa dari berbagai ekosistem yang ada, terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling sensitif dibandingkan dengan padang lamun dan mangrove.
Kondisi ini berdampak pada ekosistem di Indonesia yang memiliki padang lamun terluas di Asia Tenggara dan 23% mangrove di dunia. Berkurangnya jumlah ekosistem lamun dan mangrove dapat membuat peran ekosistem laut pesisir dalam menyerap emisi karbon juga berkurang.
Ketiga, pemanasan laut yang terjadi dapat menambah beban sektor perikanan dalam menghadapi isu overfishing dengan menekan potensi tangkapan ikan maksimal hingga sekitar 30% di perairan Indonesia. Terlebih lagi, jika emisi gas rumah kaca dibiarkan meningkat sepanjang abad 21.
Pemanasan dan pengasaman laut yang berkombinasi juga memberi dampak negatif pada stok ikan dan hewan yang bercangkang, seperti kerang mutiara dan lobster.
Pengasaman laut yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh penurunan tingkat keasaman air laut akibat reaksi antara gas rumah kaca CO2 dan air laut. Namun, di kawasan perairan Indonesia juga terjadi pengasaman pesisir yang disebabkan oleh aktivitas manusia sekitar pesisir seperti pembuangan limbah, sehingga pengasaman air laut yang terjadi lebih tinggi dari tren global.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change, para peneliti menyebutkan bahwa pengasaman laut akan terus mengalami peningkatan.
Tingkat keasaman (pH) laut, yang saat ini rata-rata antara 8,1-8,2, akan diperkirakan akan menjadi 7,8 pada tahun 2100. Pengasaman tersebut akan mempengaruhi populasi global fitoplankton, mikro organisme di permukaan laut yang membentuk dasar rantai makanan di laut.
Selain pengasaman laut, peneliti juga mengamati dampak dari perubahan iklim yaitu pemanasan suhu laut dan berkurangnya pasokan nutrisi yang memberi dampak kepada berbagai jenis spesies global.
Beberapa spesies diindikasikan akan melakukan perpindahan tempat secara signifikan, dimana sebagian besar populasi akan bergeser ke arah kutub setelah air laut di planet ini semakin bertambah hangat.
Sebagai negara maritim, Indonesia berperan penting dalam menentukan langkah yang konkret dan realistis terhadap isu perubahan iklim.
Laporan IPCC menunjukkan, secara terus-menerus, perubahan iklim menyebabkan laut menjadi semakin panas, semakin asam dan kadar oksigen berkurang. Belum lagi, kenaikan permukaan laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil terus terjadi dan lajunya semakin cepat.
Kondisi laut yang semakin panas, asam dan kekurangan kadar oksigen memaksa Indonesia untuk membuat komitmen dalam melindungi keanekaragaman hayati maupun memenuhi target Sustainable Development Goals.
Hal ini karena menurunnya kemampuan menjaga biodiversitas laut akibat banyaknya tekanan lingkungan, potensi mitigasi gas rumah kaca dari sektor kelautan, dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan.