Mediatani – Salah satu zat gizi terbaik yang dibutuhkan manusia ialah protein hewani. Gizi ini dapat ditemui dari berbagai jenis sumber pangan hewani, salah satunya susu.
Dunia persusuan di Indonesia masih perlu banyak berbenah untuk berada pada posisi ideal, mulai dari mendongkrak produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) hingga meningkatkan konsumsi susu perkapita di Indonesia.
Hal ini tentu terus diupayakan dalam upaya optimalisasi hulu ke hilir yakni, peternak sapi perah rakyat yang sejahtera hingga mencetak generasi Indonesia maju di masa mendatang.
Melansir dari laman Investor.id, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 mencatat, hingga kini kepemilikan sapi perah masih didominasi oleh peternak rakyat.
Namun, tingkat kepemilikan sapi belum ideal, dengan rerata 2-3 ekor per peternak, idealnya 7-10 sapi/peternak. Populasi sapi perah di Indonesia saat ini tercatat ada 584.582 ekor, dengan produksi SSDN pertahun sebesar 997.35 ribu ton/tahun.
Jumlah sebesar ini pun ditengarai baru mencukupi 22% dari total kebutuhan, yakni 3,8 juta ton/tahun yang sisanya tentu didapatkan dari impor.
Ditambah dengan rerata konsumsi susu di Indonesia hanya 16,27kg/kapita/tahun, di bawah negara ASEAN lainnya seperti Malaysia 36,2/kg/kapita/tahun, Myanmar 26,7kg/kapita/tahun & Thailand 22,2kg/kapita/tahun.
Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Dedi Setiadi menuturkan bahwa saat ini, ada beberapa hal yang harus dibenahi dalam upaya mendongkrak kualitas dan kuantitas produksi SSDN.
Beberapa di antaranya ialah ketersediaan pakan ternak karena keterbatasan lahan, bibit sapi, kepemilikan sapi, produktivitas hingga kualitas susu.
Dalam menjawab tantangan ini, Dedi berpandangan diperlukan regulasi dari pemerintah mengenai penggunaan lahan Perhutani dan Perkebunan Nusantara untuk penanaman Hijauan Pakan Ternak (HPT).
“Pasalnya, diperlukan bibit rumput yang unggul dari segi produktivitas dan kualitas untuk meningkatkan produktivitas sapi perah serta menghasilkan susu yang berkualitas,” ungkapnya dalam keterangan persnya Kamis (3/6), melansir, Jumat (4/6/2021) dari laman yang sama.
Menurut Dedi, sampai saat ini belum ada kebijakan yang berpihak pada penggunaan lahan. Selain HPT, ketersediaan konsentrat juga sangat terbatas, harga yang cenderung fluktuatif dan bersaing dengan kebutuhan sapi pedaging, unggas dan perikanan.
Dirinya berharap ada regulasi dari pemerintah yang mengatur pengusaha yang memperoduksi konsentrat, sebagian produksinya wajib dibeli oleh peternak sapi perah rakyat.
Selain soal pakan, yang menjadi kendala lain ialah keterbatasan bibit sapi yang berkualitas, maraknya kejadian kawin silang antara sapi Friesian Holstein (FH) dengan sapi Simental dan banyak terjadi pemotongan sapi produktif. Sehingga sulit mendapatkan bibit sapi kualitas unggul.
“Bisa dengan pembuatan akta kelahiran sapi agar jelas asal usulnya. Ketersediaan semen beku sapi bibit unggul hingga memberikan sanksi terhadap Rumah Potong Hewan (RPH) yang melakukan pemotongan sapi produktif serta memperbanyak Balai Pembibitan,” tambahnya.
Perihal mendongkrak kepemilikan sapi, Dedi menambahkan pentingnya untuk mempermudah akses pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB).
Sementara produktivitas dan kualitas susu, Dedi menuturkan bahwa pentingnya peningkatan pemahaman mengenai Good Dairy Farming Practice (GDFP) bagi para peternak untuk menghasilkan susu dengan kualitas baik.
Dengan begitu, bisa mendapatkan harga susu yang tinggi dan berujung kepada peningkatan kesejahteraan peternak. Langkah Strategis
Upaya perbaikan dari sektor hulu ke hilir tentunya harus mendapat sorotan dari berbagai pemangku kepentingan.
Dari sisi peternakan, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan) Fini Murfiani mengatakan pentingnya optimalisasi dari hulu, pengembangan usaha hingga hilirisasi.
Kebijakan dan strategi pemerintah di bidang persusuan nasional untuk di sektor hulu ada program Sikomandan (Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri), rearing, program kemitraan hingga insentif investasi.
Fini mengungkapkan untuk perbaikan kualitas, Kementan juga telah melakukan bimbingan teknis, pelatihan, penerapan good handling & good manufacturing yang bekerjasama dengan Kementerian dan Lembaga terkait.
Sementara sisi peningkatan produktivitas, Kementan telah berupaya untuk perbaikan genetik, penerapan Good Dairy Farming Practice hingga peningkatan kualitas SDM.
“Untuk pengembangan usaha perternak sapi perah, para peternak termasuk yang terdepan untuk akses kredit bersubsidi, termasuk KUR. Pengembangan perluasan orientasi usaha, penguatan hilirisasi, asuransi bersubsidi yang sudah diakses secara mandiri,” ungkap Fini.
Pakar Peternakan dan Industri Susu Tridjoko Wisnu Murti mengutarakan, bahwa pentingnya konsumsi susu dalam upaya mencetak generasi Indonesia maju di masa mendatang.
Menurut dia, sumber daya manusia (SDM) harus benar-benar diperhatikan agar tidak menjadi beban demografi di masa mendatang.
Kalau menghadapi masyarakat 5.0 gizinya tidak cukup, sebut dia, akan mempengaruhi kualitas manusianya. Gizi kurang, mutu rendah nantinya akan menjadi beban demografi.
JIka gizinya cukup dan sehat, anak cerdas dan produktif, mutu SDM tinggi akan menjadi aset dan mengisi masa bonus demografi di masa yang akan datang.
“Masyarakat super cerdas itu perlu disiapkan, diantaranya pangan produksi peternakan, khususnya susu,” kata Tridjoko.
Untuk itu, lanjut Tridjoko, dibutuhkan sebuah program yang dapat mendorong konsumsi susu sejak dini, salah satunya dengan program minum susu untuk anak sekolah.
Menurut dia, sudah banyak dampak positif yang dihasilkan, bahkan 120 negara di dunia telah menjalankan program tersebut.
“Segeralah realisasi program minum susu untuk anak sekolah. Dampaknya banyak sekali. Melalui Hari Susu Nusantara ini mohon tidak berhenti dan hanya demonstrasi minum susu saja, tetapi benar-benar menjadi program semisal konsumsi susu seminggu dua kali,” tutup Tridjoko. (*)