Mediatani – Para petani sawit di Sanggau, Sekadau, Sintang dan Ketapang, Kalimantan Barat mengeluhkan skema kemitraan plasma. Mereka menyampaikan anggapan tersebut dalam temuan Serikat Petani Kebun Sawit (SPKS).
Mereka beranggapan skema kemitraan plasma tidak adil dan merugikan. Rendahnya pendapatan mereka karena hasil jual kelapa sawit tidak sesuai dengan perjanjian di awal pembukaan lahan. Luas lahan juga cenderung tidak sesuai atau kurang dari 20 persen yang disepakati di awal.
“Di Kalimantan Barat, para petani mengeluhkan tentang rendahnya pendapatan mereka yang tidak sesuai dengan janji perusahaan,” kata Manager Program dan Kemitraan SPKS, Tirza Pandelaki dalam Media Briefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8).
Menurut Tirza, rendahnya harga TBS merupakan kendala yang dihadapi oleh petani sampai saat ini. Hal tersebut terjadi karena patokan harga yang dibuat oleh pemerintah berbeda dengan yang terjadi di lapangan, dimana pabrik, tengkulak dan loading ram juga membuat penentuan harga.
Akibatnya, petani kecil tidak pernah merasakan adanya peningkatan kesejahteraan. Padahal sebelumnya, pemerintah menyerukan bakal mengekspor CPO, namun yang terjadi harga CPO sangat fluktuatif dan dampaknya cepat terasa terhadap harga TBS petani.
“Belum ada patokan harga yang melindungi petani saat fluktuasi,” kata dia.
Tirza menduga hal ini lantaran belum ada kerja sama antara petani dengan perusahaan. Begitu juga dengan belum adanya regulasi yang jelas untuk mengatur rantai pasok dari petani ke industri biodiesel.
Selain itu, kelapa sawit dari petani tidak diserap oleh perusahaan korporasi, lantaran mereka menggunakan bahan baku dari kebun sendiri. Padahal pemerintah telah mewajibkan perusahaan agar menerima pasokan dari kebun masyarakat.
“Hal itu tidak terimplementasi, tidak ada pengawasan dan penilaian soal itu dari pemerintah, sehingga kecenderungannya terjadi monopoli penyediaan bahan baku,” kata dia.
Pernyataan pemerintah dinilai hanya bersifat klaim dan tidak sesuai dengan logika ekonomi. Pasalnya, indikator penghitungan keuntungan petani dari biodiesel cenderung meleset di lapangan. Seharusnya kementerian dan Pertamina sebagai perusahaan BUMN harus bisa memastikan hal tersebut.
Insentif Perkebunan Kelapa Sawit didominasi oleh Korporasi
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD-PKS) mencatat telah mengalokasikan dana sebesar Rp 33,6 triliun di tahun 2019. Penggunaan dana ini berasal dari pungutan ekspor sawit dari selama empat tahun dari tahun 2015.
Dalam realisasinya, dana ini 89 persen digunakan untuk insentif biodiesel senilai Rp Rp 30,2 triliun. Lalu sebanyak 8 persen atau Rp 2,7 triliun untuk program peningkatan sumber daya manusia, 0,85 persen atau Rp 284,4 miliar untuk pengembangan dan penelitian dan sebanyak 0,22 persen atau Rp 1,73 miliar untuk sarana dan prasarana. Sementara itu untuk promosi kemitraan sebesar Rp 208, 5 miliar dan pengembangan SDM sebesar Rp 140,67 miliar.
Tirza Pandelaki menilai penggunaan dari berbagai paket kebijakan ini hanya diberikan kepada korporasi besar. Padahal dana ini seharusnya bisa dinikmati petani kelapa sawit swadaya (mandiri).
“Implementasi paket-paket kebijakan yang berlaku bukanlah bagi petani, tetapi korporasi,” kata Tirza dalam Media Briefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8).
Padahal berdasarkan peraturan perundang-undangan dan UU Perkebunan dana tersebut seharusnya memiliki prioritas. Dimulai dari dari peningkatan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan, sarana dan prasarana. Terakhir dalam bentuk insentif biodiesel.
Tirza membeberkan, dana BPD-PKS yang dihimpun sejak tahun 2015-2019 sebesar Rp 51 triliun. Dana ini berasal dari pungutan ekspor sawit sebesar Rp 47,28 triliun dan pengelolaan dana sebesar Rp 3,7 triliun.
Selain itu, Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian mencatat luas lahan sawit di tahun 2020 yakni 16,381 juta hektar. Terdiri dari perkebunan sawit milik swasta seluas 8,08 juta hektar, milik negara seluas 715 ribu hektar dan petani kecil seluas 6,78 juta.
Luas lahan milik petani kecil pun terbagi menjadi dua. Masing-masing 64 persen lahan dimiliki oleh petani swadaya dan 36 persen dimiliki petani plasma.
“Dari jumlah petani swadaya yang ada, seharusnya mereka yang menjadi prioritas dan bukan terkonsentrasi pada segelintir konglomerat sawit,” ujar Tirza.