Mediatani – Indonesia dikabarkan bakal dibanjiri produk daging ayam Brasil di awal tahun 2021 nanti. Hal tersebut merupakan buntut dari kemenangan Brasil di World Trade Organization (WTO) yang menggugat Indonesia atas larangan masuknya produk mereka karena berbagai ketentuan dan prosedur.
Sebenarnya Brasil telah membawa permasalahan perdagangan ayam tersebut ke WTO sejak 2014 dan memenangkan gugatan pada 2017. Namun, Indonesia belum juga membuka keran impor ayam dan terus menghalangi impor ayam dari perusahaan Brasil dengan menunda sertifikasi kebersihan dan produk halal.
Dibukanya keran impor ayam tersebut jelas memunculkan kekhawatiran bagi perunggasan dalam negeri, terutama untuk skala usaha peternak mandiri. Pasalnya, impor ayam akan membuat pasokan daging semakin berlebih dan memukul harga jual di pasaran.
Melansir dari Tirto Senin, (9/11/2020), Wakil Sekretaris Jenderal I Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Muhlis Wahyudi, mengatakan karena kabar ini peternak kecil menjadi was-was, apalagi selama beberapa tahun terakhir mereka sudah nyaris bangkrut. Terbukanya keran impor akan semakin memperparah kondisi mereka dan menyisakan pasar bagi peternakan daging besar-terintegrasi (integrator) dan importir.
Melihat fakta terakhir yang terjadi, harga ayam hidup di tingkat peternak Jawa per Oktober 2018 sempat mencapai Rp19.000/kg. Menurut Pinsar angka ini turun menjadi Rp17.000/kg (Februari 2019) dan Rp14-15.000/kg (Maret 2019). Semua jauh di bawah harga Pokok Produksi (HPP) Rp19.000/kg sehingga peternak merugi.
Data Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kemendag mencatat harga sempat naik dan mendekati HPP di Oktober-Desember 2019. Namun jatuh lagi menjadi Rp15.333/kg (Maret 2020), Rp10.855/kg (April 2020). Per September 2020 turun lagi ke Rp13.855/kg meski sempat membaik pada Mei-Juni. Jauh di bawah harga pemerintah Rp20.000/kg.
Turunnya harga ayam di tingkat peternak merupakan akibat dari importasi indukan stock 2 tahun sebelumnya sehingga pasokan ayam pedaging yang berlebih. Kondisi peternak itu diperparah dengan permintaan yang merosot karena pandemi Covid-19 yang mengakibatkan daya beli turun dan jalur distribusi yang terganggu.
Berdasarkan data BPS, produksi daging ayam dalam negeri terus mengalami kenaikan. Dari 3,17 juta ton (2017) menjadi 3,4 juta ton (2018) dan 3,49 juta ton (2019). Sedangkan, data Kementan-Kemendag menunjukkan permintaan di tahun 2018 hanya 3,04 juta ton dan permintaan di tahun 2019 hany 3,25 juta ton saja.
Solusi Pemerintah
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan Indonesia sampai saat ini masih melakukan negosiasi lanjutan dengan Brasil mengenai kebijakan impor ayam karena menganggap masih memasuki tahap compliance report (pelaporan kepatuhan).
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengatakan peternak ayam di dalam negeri tidak usah khawatir karena banjirnya impor ayam dari Brasil ke Indonesia tergantung permintaan dari masyarakat Indonesia.
“Tapi kalau banjir gak banjir [ayam impor] dan ini berlaku untuk ayam dan yang lain-lain, sebetulnya kan terserah pada kita ya. Kalau kita lebih membeli produk Indonesia atau itu [ayam impor] dan memang bisa dipastikan itu ayam [impor] gak bisa datang sendiri ke Indonesia naik pesawat sendiri dan turun Bandara Soekarno Hatta. Ayam-ayam itu datang ke berbagai rumah. Pasti ada yang beli dan pasti ada yang pesan di Indonesia,” kata dia.
Selain itu, ia mengatakan Indonesia harus meningkatkan daya saing produk ayamnya, sehingga bisa bersaing di pasar sendiri. Menurutnya, pengusaha Indonesia bisa lebih mengembangkan produk olahan ayam Indonesia untuk berbagai kebutuhan. Seperti memasok kebutuhan pangan untuk masyarakat Indonesia yang tengah melakukan haji dan umrah.
Menanggapi solusi tersebut, Guru Besar IPB University Dwi Andreas menjelaskan betapa solusi meningkatkan kualitas sama sekali bukan jawaban. Ia bilang daging impor yang akan datang merupakan kelebihan produksi. Harganya pun sangat murah karena mereka lebih efisien dan disubsidi oleh negara asal.
Data BPPP Kemendag mencatat perbandingan harga daging ayam domestik dan internasional: Rp44.674/kg & Rp29.511/kg (2018), Rp44.045/kg & Rp25.932/kg (2019), dan Rp31/257/kg & Rp22.087/kg (Agustus 2020). Per 5 November 2020, Uni Eropa mencatat harga daging ayam (asumsi 1 euro=Rp16.000) Brasil bahkan lebih murah lagi, yaitu Rp16.000/kg. Amerika bahkan hanya Rp19.680/kg disusul Eropa Rp28.900/kg.
Menurutnya, harga yang mahal ini tidak menguntungkan peternak lokal. Data BPPP Kemendag mencatat per September 2020, bila harga di konsumen mencapai Rp30.331/kg, peternak hanya mendapat Rp15.289/kg. Bahkan perbandingan konsumen-peternak per September 2019 adalah Rp30.799/kg & Rp13.320/kg.
Ini semua belum termasuk persoalan biaya sarana-produksi peternak (sapronak) yang mahal yang mesti ditanggung peternak mandiri. Mereka yang tidak efisien praktis akan terlibas. Oleh karena itu ia meminta pemerintah mengambil langkah lebih jelas.
“Solusinya pasang tarif. Itu mutlak kalau enggak bisa hancur,” ucap Dwi
Sementara itu, Kepala Bidang Hukum dan Humas Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (Arphuin) Cecep M. Wahyudin mengatakan Pemerintah dalam hal ini harus terus berjuang, banyak cara untuk bernegosiasi. Jika impor masuk, bisnis unggas akan terguncang dan menimbulkan banyak korban.
“Apapun alasannya, kami menolak impor ayam ini. Yang pertama terdampak adalah industri pemotongan ayam yang di cold chain karena bersaing head to head dengan impor karkas dari Brasil,” kata Cecep, dikutip dari Bisnis, Jumat, (13/11/2020).