Mediatani – Komunitas lingkungan yang diberi nama Sangkarrang Ocean Dive (SOD) menerapkan metode baru untuk melestarikan terumbu karang di perairan Makassar. Upaya rehabilitasi terumbu karang tersebut menggunakan 10 media tanam dengan metode Vertical Artificial Reef (VAR).
Metode ini baru pertama kali diterapkan di Indonesia dan merupakan satu-satunya di Sulsel melalui kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM). Kegiatan ini dilakukan kelompok selam SOD melalui Coral Stock Center dengan Metode VAR dan Transplantasi Karang di Wilayah Perairan Pulau Barrang Lompo, Kecamatan Sangkarrang, Makassar.
“Kerusakan alam bukan terjadi pada kita, tapi karena kita. Menjaga lingkungan bukan hanya angan-angan, tapi diperlukan tindakan nyata. Mari menjadi bagian dari pelestarian terumbu karang,” pesan Ketua SOD Sahrul, dilansir dari Fajar Makassar.
Seperti namanya, VAR terbuat dari pipa-pipa kecil yang dibentuk vertikal. Lalu disilang dengan pipa lainnya dan bercabang mirip antena. Pipa yang melintang dilubangi lalu diikat dengan tali pancing sebagai tempat menggantungnya terumbu karang.
Di bawah laut, posisi VAR ini melayang dengan ujung bagian bawahnya diikat tali yang menyambung hingga ke pemberat. Sedangkan bagian atas VAR diikat juga dengan pelampung. Ada sebanyak 10 unit VAR diletakkan sejajar, namun tampak sedikit melingkar.
“Ide ini terinsiprasi dari luar negeri, khususnya dari California, AS. Jadi ini merupakan yang pertama dilakukan oleh orang Indonesia dan ini di Makassar. Sebelumnya ada tapi itu pun penelitian S3 setahu saya,” kata Ketua Pengusul Fathuddin saat memantau kegiatan SOD di lepas pantai.
Penyelam yang juga merupakan dosen di Institut Teknologi dan Bisnis Maritim (ITBM) Balik Diwa Makassar itu menjelaskan bahwa gagasan untuk melakukan kegiatan ini muncul atas keresahannya terhadap banyaknya titik kerusakan terumbu karang di perairan Sulsel. Termasuk salah satunya di pulau Barrang Lompo yang dinilainya sudah cukup parah.
“Dari hasil survei kerusakan karang pada beberapa titik di Pulau Barrang Lompo sudah sangat berat, 100 persen rusak lah. Penyebabnya ya, cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan,” ungkap akrab disapa Fatah ini.
Pria lulusan perikanan Unhas 2001 dan S2 UMI Makassar ini kemudian mencoba mengajukan proposal ke Kementrian Riset dan Teknologi (Ristek-BRIN) yang dirancang dengan kerjasama dengan ITBM Balik Diwa lalu bermitra dengan SOD. Ia mengaku awalnya tak menyangka usulan itu diterima.
“Karena sudah pasti pengusulan terhadap covid-19 jauh lebih seksi. Dari 13.000 pengajuan proposal di seluruh Indonesia, cuma 400 yang lolos, 17 di Sulawesi termasuk kami,” terang Fatah yang juga merupakan Dive Master ini.
Dia mengatakan, konsep kegiatan tersebut berkaitan dengan tujuan SDGs (Sustanable Development Goals), yakni adanya perbaikan lingkungan, pola kemitraan, transfer pengetahuan, dan memberi dampak ekonomi.
Setelah turut membantu pembentukan SOD, pakar tata ruang pantai ini memang memikirkan agenda positif untuk meregenerasi pemerhati lingkungan di daerah itu. Akhirnya ia memilih melibatkan langsung SOD dalam pelestarian terumbu karang sekaligus sebagai pelaku dari penduduk setempat.
“Mahasiswa, alumni dan pemuda tertarik dengan ide ini. Bersyukurnya, ada teman-teman yang semangat. Ada regenerasi dari pemuda membuat kita optimis dan yakin ada harapan restorasi karang di Barrang Lompo. Apalagi teman-teman di sini dasar menyelamnya sudah ada, tinggal finishing touch-nya saja,” tutur pendiri Fisheris, Divers Community (FDC) Unhas ini.
Fatah mengharapkan upaya recovery tersebut dapat membuahkan hasil, karena menurutnya, sudah ada banyak contoh transplantasi yang berhasil dilakukan seperti di Bontosua dan Pulau Badi.
Meski demikian, butuh waktu satu sampai dua tahun baru mulai tertutup, dari rusak sampai muncul lagi tutupan 90 persen. Untuk perairan Sulsel, ungkapnya, karang yang bagus hanya tinggal beberapa spot saja.
“Mau cari yang seperti Bunaken itu susah. 2019 saya survei dengan dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan masih banyak, tapi memang kita sembunyikan titik-titiknya,” ujarnya.
Uniknya, lanjut Fatah, terumbu karang yang ada di Sulawesi merupakan genus dan spesies terbanyak untuk terumbu karang di seluruh dunia.
“Semakin ke barat berkurang, begitu pun ke timur,” sebutnya.
Peletakkan awal media coral sepenuhnya telah selesai dilakukan. Tim kemudian menuju titik pengambilan indukan di bawah laut. Bibit lalu dipotong menggunakan gunting dan dibawa menuju VAR untuk diikat-digantung. Ada sebanyak ratusan bibit baru yang telah berhasil diikat pada tiga tiang pipa.
Pihaknya juga berencana bekerjasama dengan Polairud agar bisa memantau dan memberi informasi ke warga perihal lokasi penanaman bibit. Monitoring dan evaluasi juga akan terus dilakukan selama satu hingga dua bulan ke depan.
“Jangan sampai ada penangkapan di lokasi itu,” jelas Fatah.
Rahmat Januar selaku Bendahara tim mengatakan bahwa yang menjadi berbeda terhadap tranplantasi lain adalah proses penyediaan bibit. Ia menjelaskan bahwa terlebih dulu telah diberi perlakuan. Sehingga saat dipindahkan ke media transplantasi (spider), karang tersebut sudah betul-betul sudah siap berkembang.
“Sebelum masuk ke media tanam spider maka dibuat media tanam vertikal dulu. Dari pengalaman, ketika langsung ditanam di media spider, tinggi kemungkinan gagal. Jadi treatment awal kita ini seperti pemijahan, lalu diawasi, dan dipantau hingga beberapa bulan,” jelas Rahmat.
Sesuai dengan kerangka SDGs, pihaknya juga berencana untuk memaketkan dengan edukasi wisata agar masyarakat setempat memperoleh nilai tambah. Seperti wisatawan yang ingin menyelam, akan diajak untuk berdonasi di rehabilitasi lingkungan hidup Barrang Lompo.
“Selama ini wisatawan hanya sebentar saja, nah bagaimana kita buat agar orang bisa tinggal lama hingga menyelam di tempat kita. Sehingga akumulasi ekonomi juga berdampak ke masyarakat,” ucapnya.