Tolak RUU Cilaka, Serikat Tani Ikut Banjiri Gedung DPR

  • Bagikan
Selain buruh dan mahasiswa, sejumlah organisasi dan serikat tani turut serta dalam demonstrasi menolak Omnibus Law

Mediatani – Demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau yang biasa disebut RUU Cilaka digelar hari ini, Kamis (16/7/2020). Selain buruh dan mahasiswa, sejumlah organisasi dan serikat tani pun turut serta.

Mereka menuntut DPR RI dan Pemerintah segera menarik Omnibus Law-RUU Cipta Kerja dari pembahasan. Aksi ini diikuti secara serentak oleh organisasi dan serikat tani anggota KPA bersama jaringan di beberapa wilayah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jambi, dan Sumatra Utara.

Sekretaris Jendral, Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika mengatakan Omnibus Law-RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang sebagai jalan menciptakan lapangan kerja, isinya justru mengancam jutaan kaum buruh, memudahkan PHK dan membayar murah upah para pekerja.

Namun, bukan hanya mengancam kaum buruh, Omnibus Law ini juga mengancam terhadap jutaan petani karena RUU ini telah memudahkan perampasan tanah dengan dalih menciptakan lapangan kerja.

“Omnibus law ini juga mengancam jutaan petani karena telah memudahkan perampasan tanah dengan dalih menciptakan lapangan kerja,” kata Dewi Kartika, Kamis (16/7/2020).

Dewi mengatakan dalam RUU Cilaka tanah dilihat sebatas komoditas yang diorientasikan untuk kepentingan badan usaha, baik swasta atau negara. Dalam RUU Cilaka, misalnya, investor dapat memiliki izin konsesi selama 90 tahun, menghapus sanksi bagi perusahaan yang merampas tanah, menghapus batas maksimum luas penguasaan tanah, dan sanksi bagi perusahaan yang terbukti menelantarkan tanah.

“Selain itu, agenda tanah untuk rakyat melalui reforma agraria juga digusur oleh undang-undang ini. Sebab, tanah akan dijadikan barang komoditas dan diorientasikan untuk kepentingan badan usaha milik swasta dan negara,” katanya dalam rilis pers yang kami terima.

Muaranya, RUU Cilaka membahayakan hak atas tanah dan keamanan wilayah hidup petani, masyarakat adat, buruh tani, buruh kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di pedesaan, dan masyarakat miskin di perkotaan.

“Berdasarkan hal tersebut, kami menilai pemerintah dan DPR telah gagal menangkap aspirasi rakyat dan mengabaikan nasib rakyat yang tengah menghadapi wabah dan krisis berlapis akibat pandemi COVID-19,” kata Dewi.

Sejak awal, RUU Cipta Kerja dirasa diarahkan untuk memperkuat perusahaan dan investor skala besar. Karena itulah proses perumusannya tertutup bagi rakyat, tergesa-gesa karena melayani pesanan investor, kemudian mengabaikan kepentingan rakyat dan konstitusi. Hasilnya kata Dewi, terdapat 1.200 pasal tanpa memperhitungkan dampak sosial, ekonomi, politik, budaya yang akan menimpa rakyat.

“Pemerintah beralasan, tumpang-tindih regulasi dan ketidakharmonisan Undang-Undang sektoral telah menjadi hambatan utama untuk menciptakan iklim investasi yang ramah bagi para investor. Padahal, iklim investasi kita buruk karena maraknya korupsi dan pungutan liar. Faktanya pemerintah dan DPR RI justru melemahkan KPK dan usaha pemberantasan korupsi. Jadi, RUU Cipta Kerja ini adalah dalih untuk merampas kesejahteraan rakyat atas nama harmonisasi UU dan investasi,” terangnya.

Dalam RUU Cipta Kerja, kesulitan memperoleh tanah bagi para investor dianggap sebagai salah satu hambatan berinvestasi. Ironisnya, jawaban RUU ini adalah permudah penggusuran.

Pengaturan agraria di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir-kelautan, properti dan infrastruktur yang menjadi bagian utama dalam RUU Cipta Kerja justru mempermudah penggusuran melalui pengadaan tanah, memberi konsesi 90 tahun kepada investor, menghapus sanksi bagi perusahaan yang merampas tanah, gusur, atau beli dengan murah tanah-tanah rakyat.

“Dengan begitu, RUU Cipta Kerja telah mengancam nasib kaum tani, nelayan dan masyarakat adat yang mempertahankan tanahnya. RUU juga akan membahayakan bangunan sendi-sendi ekonomi kerakyatan, jaminan hak atas tanah dan keamanan wilayah hidup dari petani, masyarakat adat, buruh tani/kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan,” katanya.

Mereka pun menuntut, DPR RI dan Pemerintah menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja; pemerintah bersungguh-sungguh memastikan krisis akibat pandemi Covid-19 tidak semakin meluas dengan memperkuat sentra-sentra produksi pertanian, pangan, perkebunan dan peternakan rakyat yang dijamin dan dilidungi Negara; DPR RI segera menjalankan perintah TAP MPR IX/2001 untuk menyelesaikan tumpang-tindih regulasi di sektor agraria dan Sumber Daya Alam dalam rangka melaksanakan agenda pembaruan agraria.

“Pemerintah harus segera melaksanakan reforma agraria yang utuh dengan keterlibatan penuh organisasi rakyat dalam setiap pelaksanaannya,” katanya.

Pemerintah juga diminta segera menuntaskan konflik agraria, memastikan aparat keamanan dan perusahaan (swasta dan BUMN) segera menghentikan tindakan-tindakan intimidatif, refresif dan usaha-usaha kriminalisasi di wilayah-wilayah konflik agraria yang memperkeruh situasi agraria, yakni penggusuran, teror, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat di tengah pandemi saat ini.

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version