164 Organisasi Dunia Kampanyekan Lawan Industri Perikanan

  • Bagikan
Budidaya salmon

Mediatani – Sebanyak 164 organisasi di seluruh dunia mengikuti kampanye global “The World Day for the End of Fishing”. Kampanye ini dibuat oleh oleh organisasi yang berbasis di Swiss, Pour l’Égalité Animale “Untuk Kesetaraan Hewan” (PEA).

Kampanye tersebut bertujuan untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang pola konsumsi yang lebih sadar dan bertanggung jawab dalam mengonsumsi ikan dan makanan laut. Pekan ini, Indonesia juga akan terlibat dalam kampanye tersebut.

Dilansir dari Jpnn, Kamis (25/3), untuk tahun ini, kampanye ini akan difokuskan pada dampak dari adanya aktivitas budidaya ikan, atau biasa juga disebut dengan istilah akuakultur.

Direktur Kebijakan Pangan dan Kesejahteraan Hewan Sinergia Animal, Fernanda mengatakan, sebagian besar konsumen telah menganggap bahwa praktek akuakultur lebih berkelanjutan dibanding aktivitas penangkapan ikan, padahal ini merupakan kesalahpahaman besar.

“Budidaya ikan, udang, dan jenis hewan air lainnya sebenarnya bisa lebih berbahaya dan juga bertanggung jawab atas menipisnya keanekaragaman hayati di lautan,” ungkap Fernanda.

Untuk diketahui, Sinergia Animal adalah salah satu organisasi internasional yang bergerak dalam perlindungan hewan yang didedikasikan untuk memerangi praktik terburuk industri peternakan di berbagai negara dunia selatan dan mempromosikan pilihan makanan yang lebih welas asih.

Fernanda menyebutkan, hampir 1.100 miliar ikan yang ditangkap di laut setiap tahun hanya untuk memberi makan hewan budidaya seperti salmon yang diketahui merupakan hewan karnivora atau tilapia yang termasuk jenis ikan omnivora.

Ia mencontohkan kasus salmon, dimana dalam perhitungan industri, untuk menghasilkan 1 kg daging salmon, diperlukan lebih dari 800g ikan. Menurutnya, jumlah tersebut bahkan tidak memperhitungkan adanya bycatch, atau hewan laut yang secara tidak sengaja ditangkap.

Over Fishing telah menjadi masalah yang mendesak, bahkan isu ini telah dibuat menjadi film dokumenter yang berjudul “Seaspiracy” dan telah dirilis Netflix pada tanggal 24 Maret.

Pendiri Sea Shepherd, Kapten Paul Watson menjelaskan bahwa film ini membahas bagaimana industri perikanan terkait langsung dengan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati, perdagangan manusia dan perubahan iklim.

“Dan bagaimana kehidupan manusia akan terancam kecuali kita meninggalkan lautan untuk mereka sendiri,” tambahnya.

Dari total produksi ikan di seluruh dunia, akuakultur menyumbang 47% dan diperkirakan akan hampir melampaui total dari semua perikanan tangkap pada tahun 2024.

Para ilmuwan dan aktivis mengkhawatir aktivitas yang mengalami pertumbuhan yang cepat itu. Mereka mengklaim bahwa hal ini memberi dampak negatif  bagi lingkungan, dan juga berisiko bagi kesehatan masyarakat dan kekejaman terhadap hewan.

“Tambak Ikan sering kali terdiri dari kolam yang kotor, dengan kualitas air yang buruk, atau di laut atau danau, ikan menjadi sasaran segala jenis penyakit dan dimakan hidup-hidup oleh segala jenis parasit, mulai dari kutu laut parasit hingga jamur dan virus,” ujar Fernanda.

LSM Compassion in World Farming yang telah merilis hasil investigasinya minggu ini menunjukkan adanya salmon yang mengalami luka terbuka dan kebutaan di Skotlandia, negara produsen terbesar ketiga dari spesies ini di dunia.

Antibiotik seringkali digunakan dalam industri perikanan untuk mencegah terjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh kondisi tambak yang tidak sehat.

Padahal, cara ini dapat menyebabkan air dan tanah terkontaminasi dengan antibiotik dan resistensi bakteri. Hal tersebut secara langsung berdampak pada infeksi daging yang dikonsumsi banyak orang.

Bahkan, berdasarkan berbagai hasil penelitian, antibiotik yang telah dilarang digunakan lebih dari 10 tahun yang lalu untuk budidaya ikan di beberapa negara masih dapat terdeteksi pada produk yang ada saat ini.

Salah satu yang juga menjadi topik bermasalah dalam industri ini yaitu komponen kesejahteraan hewan. Ikan, yang terbukti mampu merasakan berbagai sensasi dan emosi, sering kali dibesarkan dengan ruang yang terlalu minim untuk mengekspresikan perilaku alaminya.

Selain itu, kepadatan ikan yang tinggi kerap menyebabkan terjadinya perkelahian dan cedera akibat stres. Mereka yang tidak membusuk sampai mati akan dibuat sesak napas, atau dengan dikuliti, dipotong-potong, dimusnahkan hidup-hidup, atau dengan metode kejam lainnya.

Maka dari itu, Sinergia Animal mengajak siapa saja yang masih peduli dengan dampak peternakan hewan untuk mempertimbangkan kembali apa yang mereka pilih untuk dikonsumsi.

“Setelah mempelajari semua faktor ini, penting bagi masyarakat untuk mengetahui alternatif yang lain. Salah satu hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk mengubah kenyataan ini adalah meninggalkan produk hewani, termasuk hewan laut, dari piring kita,” kata Fernanda.

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version