Mediatani – Presiden Joko Widodo yakin regenerasi petani merupakan langkah utama yang harus dilakukan untuk memajukan sektor pertanian, terutama untuk terbebas dari impor pangan. Oleh karena itu Jokowi berharap agar para anak muda tidak lagi malu dan gengsi untuk menjadi petani.
Jokowi optimis dengan segala potensi yang ada, Indonesia akan menjadi pengekspor dan memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Hal itu ia sampaikan dalam forum petani muda organik yang disiarkan langsung secara daring, Kamis (29/10).
“Saya berharap keberadaan forum petani organik muda ini dapat mengajak lebih banyak anak-anak muda untuk kembali bertani, tidak malu, tidak gengsi. Tapi sebaliknya, bangga dan bersemangat karena menjadi petani itu mulia,” kata Jokowi dalam sambutannya.
Dalam pasar industri, kata Jokowi, bahwa pertanian organik adalah masa depan yang memiliki peluang besar. Di tengah tren hidup back to nature (kembali ke alam), Jokowi beranggapan bahwa masyarakat saat ini mulai peduli pada kesehatan.
Menurutnya, Indonesia punya potensi pengembangan pertanian organik melalui sejumlah inovasi. Inovasi itu mencakup seluruh proses industri pertanian mulai dari proses penanaman, pemeliharaan, pengolahan, branding, pengemasan (packaging), hingga pemasaran.
“Dengan pengolahan pertanian secara modern, saya harapkan pertanian dapat tumbuh sebagai pilar penting pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertanian akan semakin maju. Masyarakat akan semakin lebih sejahtera,” katanya.
Jokowi dalam sambutannya turut mengungkapkan harapannya agar anak muda terus melakukan inovasi, terutama di industri pertanian. Ia berharap agar minat menjadi petani dapat meluas di kalangan anak muda untuk sehingga regenerasi petani terus ada.
“Saya percaya apa yang dilakukan para petani muda organik ini bisa bergulir dengan cepat. Memunculkan berbagai inisiatif di kalangan anak-anak muda. Meluaskan minat menjadi petani, dan mendorong regenerasi petani Indonesia,” kata Jokowi.
Fakta miris profesi petani di Indonesia
Dikutip dari CnnIndonesia, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengungkapkan kenyataan yang terjadi di lapangan justru seringkali tidak menguntungkan petani. Ada banyak fakta miris petani yang didapatkan dari hasil riset CIPS.
Peneliti CIPS, Galuh Octania, mengatakan posisi petani tidak menguntungkan. Pasalnya, mereka tidak memiliki kuasa untuk harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG). Saat bertransaksi, petani tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar.
Selain itu Harga Pokok Pembelian (HPP) yang ditawarkan Perum Bulog sebagai perwakilan pemerintah tidak jarang lebih rendah daripada harga pasar. Akhirnya, petani tidak mampu mengantongi keuntungan.
Posisi petani di dalam rantai pasok tidak menguntungkan, meskipun petani adalah penghasil komoditas. Menurutnya, sudah sepatutnya petani mendapatkan posisi yang lebih baik dan mendapatkan keuntungan dari harga jual beras di tingkat konsumen.
Rantai distribusi yang panjang, ternyata bukan satu-satunya penyebab harga pangan di Indonesia terbilang mahal. Penelitian yang dilakukan oleh International Rice Research Institute (IRRI) pada 2016 mengungkapkan bahwa ongkos produksi pertanian di Indonesia terbilang mahal.
Riset IRRI menemukan bahwa ongkos produksi beras di Indonesia lebih mahal ketimbang negara lain, yaitu sebesar Rp4.079 per kg. Angka ini hampir 2,5 kali lipat dari biaya produksi di Vietnam sebesar Rp1.679 per kg, hampir 2 kali dari Thailand yakni Rp2.291 per kg, dan India Rp2.306 per kg.
Selain itu, upah tenaga kerja pertanian di Indonesia juga rendah, yakni Rp86.593 per hari. Upah ini lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja pertanian di Filipina yang menerima Rp86.752, Vietnam Rp121.308, Thailand Rp181.891, dan China Rp208.159.
Dari fakta yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa petani di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Padahal, petani merupakan tulang punggu di sektor pertanian.