Mediatani – Beda dulu, beda sekarang, itulah yang terjadi pada kebijakan kelautan dan perikanan saat ini. Sebab, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan menteri periode sebelumnya, Susi Pudjiastuti memiliki pandangan yang berbeda untuk memajukan sektor kelautan dan perikanan.
Keduanya bahkan kerap saling melontarkan sindirin terhadap kebijakannya masing-masing. Edhy menilai, kebijakan kelautan dan perikanan pada saat itu lebih mengedepankan keberlanjutan industri kelautan dan perikanan ketimbang kemakmuran dari pelaku usahanya sendiri.
Dilansir dari Kompas, Jumat, (19/11/2020), Edhy kembali menyinggung terkait kebijakan Susi pada lima tahun yang lalu. Edhy terang-terangan menyatakan tidak sepakat bahwa prosperity harus diutamakan ketimbang sustainability (keberlanjutan).
Menurutnya, jika dilihat secara bijak, kita tidak dapat bicara sustainability apabila prosperity tidak lebih dulu diwujudkan. Oleh karena itu, keduanya harus berjalan beriringan, bukan berat sebelah.
“Kalau kita lihat lima tahun lalu bagaimana industri kita di sektor ini berhenti hanya karena beberapa kebijakan yang mengadu, dihadapkan antara sustainability (keberlangsungan) dengan prosperity,” ungkap Edhy dalam acara Jakarta Food Security Summit-5 secara virtual.
Ia kemudian mengaitkannya dengan kondisi tambak udang yang ada di Indonesia saat ini. Menurutnya, budidaya udang di Indonesia masih jauh dari kata maksimal. Padahal dengan inovasi yang baik budidaya udang bisa maksimal. Seperti yang terjadi di Muara Gembong, Bekasi, pembudidaya udang disana mampu menghasilkan 40 ton dalam 1 kali panen.
Sedangkan di era Susi, pembukaan lahan tambak udang dengan mengambil lahan mangrove sangat diperketat. Ia mengatakan kebijakan pendahulunya 5 tahun yang lalu itu dinilai membuat industri tambak udang terhenti.
“Ini masyarakat bukan perusahaan-perusahaan. Kalau perusahaan atau beberapa pelaku usaha sudah ada yang berhasil panen 1 hektar 100 ton di atas 100 ton,” ujar Edhy.
Terkait pembukaan lahan, menurutnya, tidak perlu sampai berhektar-hektar lahan untuk menghidupkan petani tambak. Pasalnya, banyak masyarakat yang memiliki tambak lebih dari 2 hektar di luar Jawa, tetapi produktivitasnya tidak bisa lebih dari 1 ton.
Susi kemudian menanggapi sindirin tersebut dengan menyematkan emoticon terkejut dalam akun Twitter pribadinya. Selain persoalan tambak udang, sebelumnya Susi juga menyindir beberapa isu perikanan yang terjadi, mulai dari ekspor benih lobster, legalisasi cantrang, hingga penenggelaman kapal.
Ekspor Benih Lobster
Mengenai wacana tentang dibukanya keran ekspor benih lobster Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), bukan hanya Susi yang melontarkan kritik. Asosiasi, peneliti, hingga masyarakat juga bertubi-tubi memberikan kritik keras terhadap lahirnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang aturan ekspor benih lobster itu.
Susi yang mengetahui kebijakan itu sontak merasa geli, karena salah satu alasan diizinkannya ekspor benih lobster, yaitu karena banyaknya nelayan yang menggantungkan hidupnya menjadi pencari benih. Padahal, menurutnya, sumber daya laut bukan hanya benih lobster saja.
Susi menganggap kebijakan ekspor benih lobster itu adalah hal yang aneh dan lucu, karena hanya Indonesia saja yang mengizinkan ekspor benih lobster. Beberapa negara seperti Australia, Filipina, Kuba, hingga Sri Lanka tidak mengambil benih lobster untuk diekspor.
“Sekarang diwacanakan, pengambil bibit nanti ambil apa kalau tidak ambil bibit? Ya lucu, ya masa di laut itu isinya cuma bibit lobster? Adanya bibit karena ada emak lobster. Lobster besar inilah yang ditangkap, jangan bibitnya,” kata Susi dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020).
Menurutnya, yang harus dikhawatirkan jika benih lobster itu diambil adalah nelayan kecil. Karena nelayan kecil sudah tidak dapat lagi menangkap lobster konsumsi yang mudah ditangkap dan tak perlu kapal besar. Untuk menangkap lobster konsumsi itu, nelayan bisa menggunakan jermal ataupun ban dalam mobil. Selain itu, harganya juga bisa mencapai ratusan ribu.
“Kita pakai akal sehat saja. Kenapa kita mesti menghidupi Vietnam? Lucu buat saya. Saya percaya negara wajib melindungi SDA untuk kemaslahatan masyarakat. Indonesia akan jadi negara besar kalau lautnya bisa dikelola dengan baik,” pungkas Susi.
Sedangkan menurut Edhy, kebijakan itu untuk kesejahteraan nelayan yang selama ini hidupnya bergantung pada benih. Tidak mungkin seorang menteri membuat nelayan kehilangan mata pencariannya. Ia juga mengaku akan menghentikan ekpor lobster itu bila budidaya dalam negeri sudah mampu menampung hasil tangkapan para nelayan.
“Kalau ditanya berdasarkan apa kami memutuskan? Nilai historis kemanusiaan karena rakyat butuh makan. Tapi berdasarkan ilmiah, juga ada. Kalau ditanya dulu penelitian seperti apa? Dulu tidak ada,” pungkas Edhy beberapa waktu lalu.
Penggunaan cantrang
Setelah melakukan kajian, KKP berencana mengizinkan kembali 8 alat tangkap untuk nelayan. Itu berarti Peraturan menteri KP Nomor 71 Tahun 2016 dan Keputusan Menteri Nomor 86 Tahun 2016 tentang aturan Produktivitas Kapal Penangkap Ikan akan berubah atau tidak berlaku lagi.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan 8 alat penangkap ikan (API) yang boleh digunakan itu antara lain, pukat cincin pelagit kecil dengan dua kapal, pukat cincin pelagit besar dengan dua kapal, payang, cantrang, pukat hela dasar udang, pancing berjoran, pancing cumi mekanis (squid jigging), dan huhate mekanis.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Trian Yunanda mengatakan, pelegalan itu dilakukan untuk mendorong iklim investasi. Jadi, peraturan-peraturan yang dinilai menghambat rencana investasi akan direvisi.
Meski demikian, akan ada beberapa standar yang ditetapkan seiring dilegalkannya alat-alat tangkap tersebut. Selain itu, KKP juga kembali mengizinkan kapal-kapal ikan berukuran di atas 200 gross ton (GT) kembali beroperasi dengan persentase skala usaha sebesar 22 persen.
Kebijakan itupun dikomentari oleh Susi. Apalagi, aturan larangan penggunaan alat tangkap cantrang dan pukat hela (trawl) itu terbit di zaman Susi.
“Ikan sudah banyak, saatnya kapal-kapal raksasa cantrang, trawl, purseiners, dan lain-lain mengeruk kembali. Saatnya panen bibit lobster yang sudah ditunggu-tunggu Vietnam. Inilah investasi yang kita banggakan,” sindir Susi melalui akun Twitternya, Kamis (11/6/2020).
Terkait kapal-kapal ikan berukuran di atas 200 gross tonage (GT) yang kembali beroperasi, Susi mengaku khawatir. Pasalnya, kapal di atas 100 GT biasanya dilengkapi cantrang berukuran lebar dengan daya sapu (sweeping) hingga kedalaman laut.
“Ini kapal cantrang yang kecil. Yang gede di atas 100 GT, talinya bisa 6 kilometer. Sweeping-nya dasar lautnya bisa mencapai lebih dari 500 Ha,” ujar Susi.
Penenggelaman kapal
Penenggelaman kapal ikan asing merupakan salah satu kebijakan susi yang dikenal banyak orang. Bahkan, mata dunia menyorot Indonesia kala itu. Namun di periode Menteri Edhy Prabowo, kapal-kapal tersebut dihibahkan kepada para nelayan di Indonesia.
Selain itu, kapal maling ikan juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan daripada berakhir jadi rumpon ikan di dasar laut apabila ditenggelamkan. Menurutnya, banyak kelompok nelayan maupun institusi pendidikan yang membutuhkan kapal.
“Kapal ini akan diserahkan ke Kejaksaan. Karena banyak sekali kampus-kampus ini punya jurusan perikanan, kenapa nggak saya serahkan ke sana. Atau misalnya nanti kita serahkan ke koperasi nelayan. Kan bisa,” sebut Edhy.
Namun, penenggelaman kapal pelaku illegal fishing tetap bisa dilakukan jika terdapat kapal ikan asing yang melakukan perlawanan saat hendak ditangkap oleh jajaran Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.
Susi saat masih menjabat Menteri KKP, sepanjang Oktober 2014 hingga penenggelaman kapal terakhir pada Oktober 2019, total kapal yang dimusnahkan berjumlah 556 kapal. Susi menganggap kebijakan yang dikeluarkannya dulu adalah untuk mengawal visi misi Presiden.
“Mungkin misinya telah berubah sekarang itu, ya, I don’t know. Kalau saya prinsipnya menteri bekerja untuk visi misi Presiden, laut masa depan bangsa. Saya melaksanakan visi misi Presiden,” pungkas Susi awal tahun 2020.