Mediatani – Dewan Guru Besar (DGB) bekerjasama dengan Dewan Ahli Himpunan Alumni (HA) IPB University memberikan tiga rekomendasi kebijakan untuk mengantisipasi kenaikan harga pangan yang terjadi belakangan ini. Terdapat tiga komoditas yang menjadi sorotan utama yaitu minyak goreng, kedelai, dan daging sapi.
Pertama, untuk kenaikan harga minyak goreng, Ketua DGB IPB University, Prof Evy Damayanthi, mengatakan mekanisme subsidi masih bisa menjadi salah satu solusi asalkan dengan menggunakan perhitungan yang akurat.
“Untuk minyak goreng, rekomendasi kami mendesak pemerintah untuk memberikan respon cepat agar masyarakat bisa mencapai harga minyak goreng,” kata Ketua DGB IPB University, Prof Evy Damayanthi melalui keterangan tertulis yang diterima mediatani.co pada Rabu, 6 April 2022.
Menurut Prof. Evy, pemberian subsidi bisa dilakukan langsung oleh pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan Nasional dengan operator dari Badan Urusan Logistik (Bulog). Akurasi data dasar terkait produsen, volume produksi, dan jaringan distribusi minyak goreng menjadi syarat wajib yang harus dipenuhi untuk memetakan potensi dan distribusi produksi minyak goreng secara nasional.
Kedua, untuk persoalan kedelai, DGB IPB University menilai kenaikan harga kedelai disebabkan oleh merosotnya produksi kedelai dalam negeri. Penurunan produksi kedelai yang terjadi pada dua dekade terakhir telah memberikan beban yang berdampak pada tidak-stabilnya pasar.
Menurutnya, persoalan ini telah menyebabkan proporsi impor meningkat hingga 80 persen dari kebutuhan nasional. Sehingga dengan kondisi ini, mau tidak mau harga kedelai di Indonesia sangat bergantung pada harga pasar internasional.
“Mengikuti aturan transmisi harga pangan, perubahan harga di pasar internasional akan ditransmisikan ke pasar domestik, meskipun akan ada jeda waktu sekitar dua sampai tiga bulan,” terangnya.
Oleh karena itu, Prof. Evy menjelaskan, rekomendasi kebijakan untuk jangka pendek antara lain mewajibkan importir menyerap sebagian kedelai hasil produksi dalam negeri untuk sementara waktu.
“Prasyarat penerapan kebijakan ini adalah akurasi spasial data petani. Pemerintah harus menetapkan target rasio impor terhadap produksi kedelai dalam negeri yang kemudian disusun dalam flow map untuk mencapai peningkatan produksi dan melonggarkan impor dengan melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai perwakilan pemerintah serta melakukan kerja sama bilateral dan Business to Business untuk meningkatkan efisiensi logistik,” terangnya.
Ketiga, terkait kenaikan harga daging sapi, Prof. Evy menjelaskan situasi kritis ini bermula dari ketergantungan pasar di Indonesia pada negara pemasok yang dominan, yakni Australia. Naik-turunnya produksi dan harga di negara pemasok mengganggu pasar domestik secara langsung.
Selain itu, faktor yang turut mempengaruhi ialah tingginya biaya logistik akibat rantai pasok yang panjang ditambah lagi nilai tukar mata uang yang juga mempengaruhi pembentukan harga.
Sementara di dalam negeri, pasokan produksi daging sapi lokal masih sulit diharapkan karena peternak melakukan bisnis secara subsisten dan tidak responsif terhadap insentif dan sinyal pasar.
“Peran aktif pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan untuk mendukung efisiensi biaya logistik,” ungkapnya.
Prof. Evy menegaskan, DGB IPB University dan Majelis Ahli Ikatan Alumni IPB University juga mendesak agar kebijakan jangka menengah maupun jangka panjang perlu dilaksanakan lebih serius dan berkesinambungan, khususnya untuk ketiga komoditas tersebut.