Mediatani – Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University menggelar kegiatan yang membahas tentang penggunaan rumpon sebagai alat tangkap perikanan secara virtual, Jumat (2/7).
Penggunaan rumpon di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) masih banyak menimbulkan pro kontra serta konflik dari berbagai pihak.
Dilansir dari laman resmi IPB University, kegiatan yang diikuti oleh sejumlah ahli perikanan itu mengomentari Peraturan Menteri (Permen) nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.
Terkait kebijakan perikanan tangkap, Pakar IPB University Dr Darmawan, mengatakan bahwa peraturan tersebut harus dibuat lebih rinci agar tidak menimbulkan multitafsir. Dalam tubuh permen baru yang diterbitkan itu masih terdapat ketidakkonsistenan dalam menerjemahkan kalimat penggunaan alat bantu tangkap.
“Perlu ada rincian lebih lanjut, karena disebutkan dalam permen tersebut, kepemilikan rumpon harus memiliki surat. Apakah surat ini harus diajukan bersama saat mendapat ijin penangkapan ikan. Hal ini yang belum clear,” ujar Darmawan.
Pakar Tingkah Laku Ikan IPB University, Prof Ari Purbayanto menjelaskan tentang perilaku migrasi ikan yang terkadang berhenti di rumpon, baik untuk feeding, pemijahan atau mencari lingkungan perairan yang sesuai. Ikan menjadikan rumpon tersebut sebagai tempat persinggahan.
Menurut Prof Ari, hal yang berbahaya akan terjadi bila rumponnya menjadi begitu padat, karena mengancam sumberdaya. Maka dari itu, perlu adanya pembatasan jumlah optimal karena ikan memiliki tingkah laku untuk memilih rumpon mana yang nyaman.
Penjelasan tentang rumpon juga datang dari Ahli Rumpon IPB University Dr Roza Yusfiandayani. Ia menjelaskan, rumpon tidak terbukti sebagai ecological trap karena waktu singgah ikan tuna dan cakalang rata-rata kurang dari enam hari.
Menurutnya, memang harus ada alokasi rumpon di perairan. Untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang ada rumpon, harus dialokasikan dulu minimal dari Surat Kelutusan Mentan No 51 Tahun 1997 jarak antar rumpon minimal 10 mil laut. Namun kenyataannya di lapangan, kata Roza, jarang ada rumpon yang jaraknya minimal 10 mil laut.
Guru Besar IPB University, Prof Mulyono yang juga merupakan Pakar Metode Penangkapan ikan menjelaskan bahwa dibanding penggunaan rumpon, lebih aman jika menggunakan alat pancing yang selektif sehingga menghindari terjadinya eksploitasi. Penggunaan rumpon setidaknya dapat diterapkan dengan peraturan yang mengikat, terutama agar KKP lebih mudah untuk mengontrolnya.
Sementara dari sudut pandang sosial ekonomi, Prof Eko Wiyono, Pakar Sosial Ekonomi Perikanan Tangkap IPB University, menjelaskan bahwa penggunaan rumpon oleh nelayan industri akan memunculkan konflik akibat berkurangnya hasil tangkapan nelayan kecil. Penggunaan rumpon juga akan menjaring ikan-ikan berukuran kecil karena di dalamnya membentuk rantai makanan yang utuh.
Solusinya, tambah Prof Eko, membuat aturan pemanfaatan rumpon bersama antara perikanan industri dengan perikanan skala kecil. Dimana nelayan skala kecil membayar fee setelah nelayan industri menangkap ikan-ikan pada posisi di atas.
“Nelayan kecil membawa pancing ulur yang targetnya ikan tuna dan tidak termasuk catchable área. Solusi tersebut dapat diterapkan untuk mengatasi berkurangnya hasil tangkapan nelayan skala kecil,” jelas Prof Eko.
Ahli Material Ikan Tangkap IPB University Prof Gondo Puspito, mengatakan bahwa material yang digunakan pada rumpon harus berupa material yang dapat menghasilkan pembusukan karena di dalam rumpon harus mengutamakan rantai makanan.
Lebih lanjut Prof Gondo menjelaskan, penggunaan bahan síntesis harus digabungkan dengan bahan alami untuk mencegah pembentukan hábitat baru bagi ikan-ikan kecil.
Sedangkan, Dr Fedi A Sondita, Pakar Pengelolaan Perikanan Tangkap IPB University menyoroti bahwa Permen terbaru tersebut memang telah mengatur tentang pelaporan dan pemantauan. Namun, menurutnya, alat bantu tangkap seperti rumpon belum terlalu dianggap unik dan justru rawan eksploitasi sehingga dibutuhkan perhatian khusus.