Mediatani – Hama tikus saat ini masih menjadi ancaman bagi pertanian Indonesia. Untuk mengatasinya, telah dilakukan berbagai upaya pengendalian terpadu yang dianggap cocok agar bisa menekan kerugian.
Dosen IPB University dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Swastiko Priyambodo mengatakan, relief Candi Borobudur menunjukkan bahwa tikus sejak dulu telah menjadi hama padi sejak dulu. Sampai dengan saat ini, hama tikus mampu bertahan dan melawan setiap upaya tindakan pengendalian.
Swastiko menuturkan, terdapat tiga kata kunci dalam manajemen pengendalian hama tikus. Pertama, yaitu keterpaduan berbagai metode pengendalian mulai dari sanitasi, kultur teknis, fisik, mekanis, biologi dan kimia yang dipadukan dan bersifat kompatibel.
Kedua, lanjut dia, yaitu kebersamaan dalam pengendalian populasi hama tikus sawah. Terakhir, yaitu keberlanjutan upaya pengendalian pada setiap musim tanam perlu dilakukan secara terus menerus.
Pakar tikus dari IPB University tersebut menjelaskan, manajemen populasi tikus secara non-kimia namun dapat bersifat toksik biasanya dengan menggunakan protozoa. Namun, cara ini terbilang sulit untuk diterapkan di lapangan dan terbilang mahal.
Selain itu, dia mengatakan, metode ini juga masih kalah saing dengan rodentisida kimia yang harganya lebih murah dan dijual bebas di pasaran. Sebaliknya, manajemen kimia namun bersifat non-toksik dengan menggunakan rodentisida seperti Rodol dinilai tidak terlalu efektif.
Dia menyebut, keefektifannya sudah diuji di IPB dan hasilnya menunjukkan, tikus tidak terlalu suka dengan umpan tersebut.
“Alternatifnya, manajemen tikus dilakukan dengan kultur teknis yakni dengan metode budidaya tertentu. Misalnya, seperti trap crop dan push-pull system repellent,” ungkap Swastiko dalam Webinar Propaktani “Ayo Kendalikan Tikus“ yang digelar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Rabu (6/7/2022).
Sayangnya, tambah Swastiko, kedua metode tersebut tidak bisa dikombinasikan pada hamparan pertanaman padi.
Untuk metode budidaya lainnya yakni, tumpangsari padi gogo dan palawija atau pohon buah, sistem jajar legowo atau tanam padi serempak pada area sawah. Tanam padi serempak ini dapat dikembangkan menjadi agroekowisata pada hamparan sawah.
Saat ini, IPB dan mahasiswanya telah mencoba mengembangkan hamparan sawah menjadi agroekowisata yang dilakukan bersama pemerintah Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar).
Lebih lanjut, Swastiko menjelaskan, upaya manajemen lainnya yakni dengan cara sanitasi atau bersih lingkungan. Hal ini penting dilakukan karena lingkungan yang buruk akan menjadi tempat yang disukai bagi tikus.
Sementara itu, untuk manajemen tikus secara fisik atau mekanis dapat dilakukan dengan mengintegrasikan teknologi terkini seperti Internet of Things (IoT). Menurutnya, dengan aplikasi handphone, petani lebih mudah untuk mendeteksi perangkap yang berhasil menangkap tikus.
Namun, tutur Swastiko, biaya operasional cenderung mahal, berbeda dengan cara pengedalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami, seperti Tyto alba, musang atau garangan, dan ular tikus.
Selain itu, umumnya petani juga menggunakan rodentisida sebagai umpan beracun. Petani juga kerap mencoba mengkreasikan rodentisida dengan menggunakan tumbuhan yang dapat meracuni tikus.
Berkenaan dengan hal itu, Swastiko sendiri mendukung upaya kreasi dan inovasi yang datang dari petani.
“Namun, perlu diingat tikus sifatnya melawan, belum tentu tikus yang tersisa mau memakan umpan tersebut. Di lapangan banyak tersedia makanan yang lain. Namun, upaya ini harus tetap didukung agar tidak lagi ketergantungan pada industri pestisida,” terang Swastiko.
Swastiko juga mengimbau kepada para petani agar waspada pada rodentisida illegal karena akan sangat bersifat toksik dan berbahaya bagi konsumen dan petani sendiri.
Dia juga menjelasakan, terdapat tiga faktor dalam manajemen tikus yaitu, faktor ekologi, faktor ekonomi, dan faktor sosiokultural. Selain memperhatikan faktor lingkungan dan biaya, pengendalian hama tikus juga harus memberikan dampak sosial yang positif terhadap masyarakat.