Mediatani – Aktivitas Ali Fatah, kini sangat jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu. Belantik sapi itu nyatanya lebih banyak menghabiskan waktunya di ladang sambil mengawasi tanaman porang.
Yup! Dia bahkan bukan lagi bergelut dengan sapi yang jadi sumber penghasilannya selama 10 tahun sebelumnya.
Warga Dusun Tugu, Desa Pengkol, Kecamatan Jatiroto, Wonogiri itu kini sudah resmi beralih pekerjaan menjadi petani porang.
Hal ini diduga karena tingginya keuntungan yang menjadi alasan utama ia meninggalkan pekerjaan sebagai belantik sapi dan menjadi petani porang.
“Hitungan saya keuntungan yang didapatkan dari budidaya porang jauh lebih tinggi sekitar 50 persen. Dengan asumsi modal yang sama, dalam satu tahun saya dapat hasil kotor dari blantik sapi Rp300 juta. Sementara dari budidaya porang bisa Rp500 juta,” kata Fatah mengutip, Senin (28/6/2021) dari laman Solopos.com.
Dirinya kini pun tengah sibuk membudidayakan porang bersama empat pekerjanya. Bahkan belum lama ini, ia mengirim hasil panen porang ke pabrik yang ada di Jawa Timur (Jatim).
“Saya menjadi blantik sapi sudah sepuluh tahun. Sejak dua hingga tiga bulan lalu saya berhenti total sebagai pedagang sapi. Sekarang fokus menanam porang. Kalau dua-duanya dijalankan tidak mampu” kata dia mengisahkan.
Sempat Gagal Total
Dia bilang, dirinya awalnya mulai mencoba membudidayakan porang sejak awal 2020, lalu. Saat itu ia langsung menanam porang dengan jumlah banyak.
Ia menghabiskan sekitar 380 kilogram bibit porang katak dan empat ton bibit porang umbi besar.
“Pada 2020 itu saya gagal total. Cuma asal tanam kemudian saya tinggal. Saya kan juga belum pengalaman, kata orang cukup ditanam nanti bisa hidup. Ternyata malah tidak maksimal. Saat itu saya masih dagang sapi juga,” cerita Fatah.
Di saat menanam porang kali pertama, ia mencoba menanam porang dua bibit di dekat rumah. Setelah dipanen, masing-masing menghasilkan umbi seberat 4,2 kilogram dan 3,7 kilogram.
Dengan melihat hasil itu, semangatnya pun kembali timbul. Fatah pun bertekad kembali membudidayakan tanaman porang.
Sekira Oktober dan November 2020, Fatah kembali menaman porang dengan jumlah banyak. Ia menghabiskan 350 kilogram bibit katak dan lima ton bibit umbi besar.
Sebagian lahan yang digunakan pada awal menanam tidak digunakan lagi. Justru ia punya lahan baru yang dinilai lebih cocok untuk ditanami porang. Kini lahan itu tersebar di 15 tempat.
Sejak Mei 2021 Fatah mulai panen porang. Ia sudah dua kali mengirim umbi produksi hasil panen porang ke pabrik di Jawa Timur.
Pengiriman pertamanya ada sebanyak 4,160 ton dan pengiriman kedua 5,4 ton. Porang hanya dibudidayakan selama satu musim atau delapan bulan karena bibitnya berasal dari umbi.
Untung Berlipat
Menurut dia, dari bibit umbi yang belum dipanen masih berpotensi menghasilkan umbi produksi sebanyak 12 ton. Panen umbi produksi dari jenis bibit umbi akan terus dilakukan bertahap.
Dimungkinkannya bakal berlangsung hingga Agustus 2021. “Jadi yang saya panen yang dari bibit umbi. Kalau dari bibit katak belum saya panen umbi produksinya. Yang dipanen baru umbi katak yang ada di daun. Umbi katak di daun saya panen dapat sekitar satu ton,” katanya.
Dari hasil panen yang belum selesai Fatah lakukan, ia bisa memprediksi keuntungan yang diperoleh cukup besar.
Dirinya pun tak menghitung modal yang dikeluarkan secara detail. Namun ia memperkirakan hasil yang diperoleh lebih tinggi dari modal yang dikeluarkan.
Saat penanaman kedua, Fatah mengaku menghabiskan modal hampir Rp300 juta. Dari bibit umbi yang ditanamnya, menghasilkan umbi produksi sebanyak 20 ton.
Sekarang ini, satu kilogram umbi produksi harganya Rp7.500. Sehingga total sudah mendapatkan Rp150.000 juta.
Fatah pula telah memanen umbi katak di daun sebanyak satu ton. Satu kilogram bibit katak Rp200.000. Sehingga jika dijual sudah dapat Rp200 juta.
“Dari situ sudah untung. Padahal umbi produksi yang dari bibit katak belum saya jual, masih ada di lahan. Selain itu harga umbi porang akan berangsur naik hingga Agustus 2021. Karena musimnya bagus, jadi harganya bagus juga,” ujarnya. (*)