Delusi Swasembada Pangan?

  • Bagikan
Ilustrasi

Mediatani.co – Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan swasembada untuk beberapa komoditas pangan. Sebut saja swasembada jagung pada 2018 dan Swasembada Kedelai pada 2020. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman juga optimistis target tersebut dapat dicapai.

Terkait Swasembada Kedelai, menurut ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin bahwa target Kementerian Pertanian (Kemtan) untuk swasembada kedelai pada 2020 sulit tercapai. Pasalnya, banyak petani yang enggan menanam kedelai lantaran keuntungan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan tanaman komoditas pertanian lainnya.

Aip menambahkan bahwa setiap satu hektare lahan yang ditanami kedelai hanya dapat menghasilkan kurang dari Rp 12 juta per tahun. Selain itu untuk tanaman jagung dan padi nilainya bisa mencapai Rp 15 juta lebih setiap hektare dan bisa panen lebih dari satu kali dalam setahun. “Jadi kalau pemerintah ingin swasembada, maka harus pemerintah sendiri yang mengerjakan penanaman kedelai,” ujarnya, beberapa pekan lalu.

Senada dengan itu, Lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan bahwa ambisi swasembada pangan yang kerap didengungkan selama ini perlu memperhatikan kesejahteraan petani di berbagai daerah.

“Daripada menghabiskan sekian banyak dari APBN untuk program subsidi pertanian, akan lebih baik jika anggaran tersebut dipergunakan untuk mendukung program-program kesejahteraan sosial yang memiliki dampak lebih signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan mereka (petani) terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan,” kata peneliti bidang Perdagangan Hizkia Respatiadi

Menurut Hizkia, keinginan Menteri Pertanian Amran Sulaiman agar semua petani mengambil kebutuhan pangannya dari tanahnya sendiri berpotensi menghambat pertumbuhan kesejahteraan mereka.

Hal itu, ujar dia, dikarenakan kesempatan mereka untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya melalui berbagai peluang usaha dan pekerjaan lain akan berkurang, sehingga mereka rawan terhadap kenaikan harga bahan pangan.

Berdasarkan data Sensus Pertanian BPS Tahun 2013, dari 25,75 juta rumah tangga pertanian pengguna lahan di Indonesia, lebih dari 55 persen adalah pengguna lahan berskala kecil yang masing-masing berukuran kurang dari setengah hektare.

“Lahan sekecil ini tidaklah cukup untuk menumbuhkan seluruh kebutuhan pangan mereka, apalagi untuk memberikan mereka penghasilan yang layak dari surplus produksi panen. Jika mereka dipaksakan untuk hanya bergantung pada hasil bumi mereka sendiri, para keluarga petani ini justru berpotensi kehilangan kesempatan untuk memperoleh penghasilan tambahan dari pekerjaan lain, seperti menjadi karyawan di kota atau bahkan di luar negeri,” paparnya.

Bank Dunia mencatat bahwa 34,3 juta pekerja di sektor pertanian Indonesia tergolong miskin atau rentan dengan penghasilan kurang dari 1,90 dolar AS sehari atau sekitar Rp 750.000 sebulan.

Sebelumnya, Khudori pengamat pertanian justru memberikan pendapat berbeda. Dia menyoroti swasembada kedelai yang dicanangkan pemerintah. Menurutnya, tanpa ada terobosan yang besar dari pemerintah, maka swasembada kedelai tidak akan bisa tercapai.

“Mengacu kepada data yang ada, kalau tidak ada terobosan besar seperti penambahan luas area tanam dan peningkatan produktivitas tentunya tidak akan bisa swasembada. Kecenderungan produksinya pun tidak naik, malah turun,” ungkap Khudori

Diversifikasi Pangan Sebatas Kampanye

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian ( Kemtan) Agung Hendriadi mengungkapan, selama ini program diversifikasi pangan di Indonesia masih sebatas kempanye belaka dan belum memiliki program yang keberlanjutan.

“Selama ini yang kami lakukan hanya kampanye, hanya gerakan, kemudian gebyar, setelah kampanye selesai, tidak ada program yang sustainable mengenai bagaimana program diversifikasi pangan,” ujar Agung di Gedung Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (24/10/2017).

Menurutnya, program diversifikasi pangan perlu dilaksanakan saat ini sebagai salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras karbohidrat dan terigu.

“Pertama kurangi ketergantungan, kedua adalah untuk memberikan makanan atau nutrisi yang bergizi dan aman untuk masyarakat,” kata Agung.

Menurut Agung, saat ini program diversifikasi pangan telah dijalankan di beberapa wilayah meskipun belum skala besar.

Salah satunya diversifikasi pangan berbasis sorgum di Demak Jawa Tengah dan Larantuka Nusa Tenggara Timur, kemudian sagu di Kehiran Papua, dan jagung di Kupang Timur, serta hanjeli di Sumedang, dan ubikayu di Cimahi.

Sementara itu, Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Hasil Sembiring mengatakan, program diversifikasi pangan perlu dilaksanakan secara intensif di Indonesia, sebab kedepan produksi beras akan semakin memiliki tantangan yang besar, mulai dari ketersediaan lahan, hingga iklim dan cuaca.

“Diversifikasi pangan sudah keharusan, dan aturannya sudah ada, saya kira ini kebijakan tepat, karena kalau tidak tekanan kita untuk produksi beras akan semakin berat,” kata Hasil.

Hasil menyatakan, jika diversifikasi pangan mampu dilaksanakan maka cepat atau lambat konsumsi beras akan semakin menurun. “Jika diversivikasi pangan di dorong maka konsumsi beras akan menurun,” jelas Hasil.

Berdasarkan Kementan, hingga tahun 2017 tren konsumsi beras nasional terus mengalami penurunan.

Pada tahun 2010 tren konsumsi beras di Indonesia mencapai 130 kilogram per kapita per tahun, dan tahun 2014 mencapai 124 kilogram per kapita per tahun, kemudian tahun 2017 mencapai 117 kilogram per kapita per tahun.

Kendati demikian, angka tersebut masih jauh dibawah konsumsi negara-negara Asia, seperti Korea Selatan 40 kilogram per kapita per tahun, Jepang 50 kilogram per kapita per tahun, Malaysia 80 kilogram per kapita per tahun, dan Thailand 70 kilogram per kapita per tahun

 

 

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version