Mediatani – Prof Dwi Andreas Santosa, seorang Guru Besar IPB University, Bogor, menyoroti Proyek lumbung pangan nasional atau food estate. Dirinya memprediksi bahwa proyek food estate yang dibangun di berbagai wilayah itu akan mengalami kegagalan.
Hal tersebut diungkapkan prof Andreas dalam Konferensi Refleksi Ekonomi Akhir tahun yang diselenggarakan CENTER of Reform on Economics (CORE) Indonesia, di Jakarta, Rabu (29/12) Sore.
“Food estate atau lumbung pangan nasional saya kritik ini tidak belajar dari kesalahan selama 25 tahun, sehingga kesalahan terus menerus diulang sehingga saya pastikan ini gagal,” Ungkap Prof Andreas.
Prof Andreas yang juga menjabat sebagai Research Associate CORE Indonesia itu menilai jika proyek ini gagal, alih-alih sebagai harapan dibalik ancaman krisis pangan, proyek itu justru hanya sekedar pemborosan anggaran bahkan lebih dari itu.
Professor bidang ilmu tanah itu menilai bahwa potensi kegagalan proyek food estate tersebut dikarenakan tidak memenuhi empat pilar yang mesti dimiliki proyek pangan skala besar.
Pertama, proyek itu dinilai tak memenuhi standar kesesuaian tanah untuk menjadi lahan tanam. Selain itu, polemik kepemilikan lahan pun sebenarnya sudah menyambut proyek food estate sembelum dimulai. Polemik yang dimaksud adalah misalnya pelanggaran kepemilikan tanah adat.
Kedua, infrastruktur pertanian yang dibangun di lahan food estate dalam kondisi yang tidak layak. Dia menilai bahwa irigasi, jalan dan sarana prasarana lain di beberapa lokasi yang dijadikan lahan pertanaman tidak sesuai, bahkan tidak memenuhi kriteria layak.
“Petani bisa mentransfer produknya ke luar wilayah produksi, itu pun juga sulit, kami terlibat bukan hanya ngomong saja,” terang Andreas.
Pihaknya mengklaim fakta bahwa di lokasi berbeda pada area food estate telah beberapa kali dilakukan percobaan tanam, dan sejauh ini hasil percobaan yang dilakukan masih menemui jalan buntu berupa gagal tanam.
“Kalau infrastrukturnya setengah-setengah jangan kira-kira lah, pasti gagal,” ujarnya.
Ketiga, pemelihan benih. Menurutnya, varietas yang ditanam di lahan proyek lumbung pangan itu kurang cocok dengan kondisi lahan tanam. Selain itu, teknologi yang digunakan pun masih minim. Bahkan, ketersediaan pupuk tidak mampu menutupi kebutuhan hara tanaman di sana.
Keempat, produktifitas. Prof Dwi Andreas menyebutkan syarat agar food estate bisa berhasil adalah jumlah produksi gabah per hektar lahan yang dihasilkan. Dirinya mensyaratkan agar setiap hektare lahan harus mampu memproduksi minimal 4 ton gabah. Sementara, jika dibandingkan dengan produksi saat ini, gabah yang bisa dihasilkan dari lahan food estate hanya mampu mencapai 1 ton/ha.
“Proyek food estate tadi itu tidak ada yang mencapai itu, uji coba kami saja hanya 1 ton per hektare, padahal didampingi doktor, profesor, untuk itu kenapa mohon pemerintah mempertimbangkan lagi,” jelas dia.