Mediatani – Popularitas ikan nila terus meningkat sejak pertama kali dibawa ke Indonesia pada tahun 1969 dari Taiwan. Pasalnya, ikan ini memang sangat mudah berkembangbiak, pertumbuhannya cepat dan menghasilkan anakan yang banyak.
Selain itu, ukuran badan ikan ini relatif besar, tahan penyakit, sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan, relatif murah harganya, dan rasa dagingnya lezat. Berbagai keunggulan tersebut membuat produksi budidaya ikan ini di Indonesia terus meningkat dari tahun 1993 hingga tahun 2002.
Para pembudidaya sendiri juga sangat optimis usaha budidaya ikan nila dapat berhasil karena produktivitasnya yang tinggi dan mempunyai sifat yang tahan (resistant) pada lingkungan.
Ikan ini menjadikan plankton sebagai pakan alami dan cenderung omnivorous, sehingga rantai makanannya pendek, dan memiliki sifat pertumbuhan yang cepat, apalagi dengan sistem monoseks jantan.
Ikan Nila atau Tilapia cenderung tumbuh dengan ukuran yang lebih kecil dan memiliki kemampuan bertelur yang terbatas jika dipelihara pada kolam budidaya yang sangat padat dan kecil.
Menurut para ahli, hal itu disebabkan karena ikan nila berusaha untuk beradaptasi dan mengatasi stres akibat kondisi lingkungan yang kurang mendukung.
Hal tersebut dibuktikan dengan studi baru dari para peneliti di Universitas Kelaniya di Sri Lanka dan Universitas British Columbia (UBC) di Kanada beberapa waktu lalu.
Hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar ikan mati saat stres, ikan nila mampu bertahan hidup pada lingkungan yang ekstrim dengan kondisi kurang gizi (stunting) dan secara fisik lebih kerdil.
“Tilapia dan ikan lain dalam keluarga Cichlidae sangat toleran terhadap kondisi lingkungan yang penuh tekanan yang, bagaimanapun, meningkatkan kebutuhan oksigen mereka,” kata Upali S Amarasinghe, penulis utama studi dan profesor di Universitas Kelaniya, dilansir dari Thefishsite.
Amarasinghe juga menjelaskan bahwa metabolisme ikan nila akan meningkat saat membutuhkan lebih banyak oksigen untuk dapat membuat tubuhnya tetap berfungsi dengan baik.
Tetapi pada kondisi tertentu, hubungan antara metabolisme yang meningkat dan pertumbuhan tubuh menyebabkan insang mereka tidak dapat memasok cukup oksigen untuk tumbuh lebih besar, sehingga membuatnya berhenti tumbuh bahkan mati.
Salah satu penulis studi dan peneliti utama dari inisiatif Sea Around Us di Institut Kelautan dan Perikanan UBC, Daniel Pauly menjelaskan bahwa insang ikan nila memiliki luas permukaan yang terdiri dari dua dimensi, yaitu, panjang dan lebar. Lain halnya dengan tubuhnya yang tumbuh dalam tiga dimensi – panjang, lebar, dan dalam
“Saat ikan semakin besar, insangnya menyediakan lebih sedikit oksigen per unit berat badan. Jadi, untuk tetap hidup dalam kondisi stres yang meningkatkan kebutuhan oksigen mereka, ikan harus tetap berukuran lebih kecil,” ungkapnya.
Stres yang dialami ikan nila dalam kondisi lingkungan yang buruk, membuat permukaan insang bertambah stres dan tidak sejalan dengan meningkatnya kebutuhan oksigen pada tubuh yang sedang mengalami pertumbuhan.
Akibatnya, hormon ikan cenderung mengalir pada proses pematangan dan pemijahan tidak bisa berjalan normal. Ikan yang masih berusia lebih muda tidak dapat melakukan pemijahan, karena proses pertumbuhan ikan telah berhenti.
Semenhtara itu, para ahli juga melakukan penelitian terhadap 41 populasi dari sembilan spesies ikan seperti nila dan cichlid lain yang ditemukan di danau dan kolam budidaya di banyak negara, mulai dari Brasil hingga Uganda, dan dari Mesir hingga Hong Kong.
Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa ikan nila yang sedang dalam kondisi stres tidak dapat bertelur ‘lebih awal,’ mereka hanya menyesuaikan ukuran tubuhnya menjadi lebih kecil, tetapi mereka tetap menjalani siklus hidupnya.
Para pembudidaya ikan di berbagai negara Asia dianggap perlu mengetahui temuan ini, karena ikan nila yang dibudidayakan di tambaknya kerap berukuran kecil dan bereproduksi secara liar, sehingga nilai ekonominya pun menurun.