Mediatani – Usaha tidak akan mengkhianati hasil. Ungapan ini benar-benar ditunjukkan oleh Munir (36) seorang pembudidaya ikan kerapu di Kabupaten Probolinggo.
Warga Pulau Gili Ketapang, Sumberasih ini sukses membuktikan bahwa usaha ikan kerapu yang dibudidayanya dengan sistem keramba jaring apung (KJA), bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah yang jumlahnya sangat menggiurkan.
Ikan kerapu yang dipanennya hingga dua kali dalam setahun itu bisa menghasilkan keuntungan hingga Rp 500 juta. Pencapaian itu diperolehnya setelah berjuang keras memelihara ikan kerapu yang dinilai tidak masuk akal oleh sebagian orang di daerahnya.
Warga di daerahnya itu bahkan menganggap usaha budidaya ikan kerapu yang dijalankan Munir adalah hal yang “gila” karena hasil laut di Gili Ketapang terbilang cukup melimpah. Sehingga, tanpa membudidaya pun, ikan bisa diperoleh dengan menangkap.
“Tetapi, saya tak menghiraukan mereka dan terus membudidaya ikan kerapu,” ungkap Munir, dilansir dari Tribunnews, Sabtu (27/11/2021).
Usaha budidaya kerapu yang dijalankan Munir ini baru dimulainya pada awal tahun 2021 ini. Saat itu, ia dan beberapa warga memanfaatkan pakan dan bibit ikan kerapu yang diperoleh dari bantuan pemerintah pusat. Ia pun tanpa ragu langsung membudidaya bibit ikan itu di KJA.
Munir mengungkapkan, saat ini jumlah KJA yang ada di Gili Ketapang sudah mencapai 200 unit dengan perkiraan jumlah ikan kerapu yang dibudidaya sebanyak 540.000 ekor.
“Padahal dulu keramba tempat budidaya ikan kerapu bisa dihitung dengan jari. Kini para warga lain mulai mencoba membudidaya ikan kerapu,” ungkapnya.
Adapun titik lokasi keramba budidaya ikan kerapu itu berada di sisi timur Pulau Gili Ketapang. Keramba tersebut diletakkan dengan jarak sekitar 100 meter dari bibir pantai.
Pada umumnya, KJA untuk ikan kerapu ini berukuran 12×12 meter dengan kedalaman 10 meter. Tiap keramba, terdapat 9 hingga 12 kolam, yang setiap kolamnya berisi ratusan ikan kerapu.
“Ikan kerapu dipanen dua kali dalam setahun. Yakni, 10 bulan-12 bulan dari waktu tebar,” terangnya.
Ia menceritakan usaha keras yang dilakukannya mulai saat masih baru menebar bibit hingga 4 bulan. Pasalnya, di waktu itu ikan kerapu rentan mengalami mortalitas (mati) karena serangan penyakit yang jenis dan penyebabnya belum diketahui.
Menurutnya, tingkat kehidupan ikan kerapu yang dibudidayanya itu bila dirata-ratakan maksimal hanya sekitar 50 persen saja dari total bibit yang ditebar.
“Kami harus memantau ikan kerapu dengan ekstra di awal waktu tebar bibit hingga 4 bulan,”ungkap Munir.
Karena itu, ia dan para pembudidaya lainnya berharap pemerintah setempat dapat menyediakan uji laboratorium untuk mengetahui penyakit yang sering menyerang ikan kerapu yang dibudidaya di Gili Ketapang, sehingga dapat diantisipasi.
Munir juga mengaku kesulitan untuk mendapatkan bibit ikan kerapu di Probolinggo. Para pembudidaya harus mencari dan membeli bibit secara mandiri di Situbondo hingga Bali. Bibit ikan kerapu tersebut dihargai Rp 9.000 per ekor dengan dengan ukuran 12 cm.
Uniknya, semakin besar ikan kerapu yang dipanen, maka harga jualnya akan semakin murah. Hal ini disebabkan karena restoran tak bisa menerima ukuran ikan yang besar lantaran tidak sesuai dengan menu masakan.
Saat dipanen, ikan kerapu yang berukuran 5 – 9 ons dijual dengan harga Rp 95.000. Sedangkan ukuran 1 – 1,8 kg justru dibanderol Rp 65.000 dan bahkan ukuran 2 kg ke atas hanya Rp 60.000.
Untungnya, ada pihak ketiga atau eksportir yang mau membeli ikan kerapu dari Pulau Gili Ketapang dengan harga yang bagus. Ikan tersebut untuk memenuhi kebutuhan ekspor Eropa.
“Saya mendapatkan keuntungan Rp 500 juta selama dua kali panen. Itu juga bergantung tingkat kehidupan ikan kerapu. Estimasi ikan kerapu yang berhasil dipanen totalnya seberat 3 ton,” sebutnya.
Di lain sisi, aktivitas budidaya ikan kerapu juga telah memberdayakan sejumlah warga di Pulau Gili Ketapang.
Imam (31) salah satu warga yang bekerja di KJA miliki Munir mengaku bahwa budidaya kerapu telah menjadi lahan mata pencahariannya yang baru. Setiap harinya, ia bertugas untuk mencari dan memberi makan ikan kerapu serta merawat keramba.
“Ini saya jadikan sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama saya adalah nelayan. Tiap bulan saya mendapat upah Rp 2 juta. Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga,” pungkas Imam.