Mediatani – Pada momentum Hari Pangan Sedunia 2020, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan dalam sambutannya bahwa salah satu strategi penyediaan pangan khususnya di masa pandemi ini adalah program diversifikasi pangan.
“Diversifikasi pangan menjadi pilihan, orang bisa kenyang tidak hanya dengan beras. Berbagai pangan lokal juga bisa menjadi pilihan dan bagian yang harus terus kita dorong,” kata Mentan SYL.
Hal tersebut disampaikan Mentan Syahrul mengingat selama ini masyarakat Indonesia masih menjadikan nasi sebagai pangan pokok dalam kehidupannya. Bahkan terdapat istilah bahwa belum kenyang apabila belum makan nasi. Padahal, sumber pangan lokal yang ada selain beras seperti jagung dan umbi-umbian sangat melimpah di negeri ini.
Oleh karena itu, Kementerian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan mengampanyekan “kenyang tidak harus nasi” sebagai bagian dari upaya percepatan diversifikasi pangan. Menurut Kepala BKP Kementan, Agung Hendriadi, gerakan diversifikasi pangan tersebut dilakukan untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal dan menurunkan konsumsi beras.
“Kita harapkan dengan gerakan diversifikasi pangan ini masyarakat bergairah untuk mengonsumsi pangan lokal sumber karbohidrat non beras,” ujar Agung.
Dalam roadmap diversifikasi pangan 2020-2024, disebutkan terdapat enam komoditas pangan lokal sumber karbohidrat non beras yang potensial mengganti nasi, yaitu singkong, talas, sagu, jagung, pisang, dan kentang. Keenam komoditas tersebut dapat dikonsumsi sebagai pengganti nasi.
Sebagai perbandingan, satu porsi nasi berukuran 100 gram setara dengan 1,5 potong singkong seberat 120 gram. Kemudian satu buah talas besar dengan berat 125 gram sebanding dengan satu porsi nasi. Sedangkan untuk jagung membutuhkan tiga buah jagung ukuran sedang agar setara dengan satu porsi nasi.
Setelah itu kentang. Satu porsi nasi setara dengan dua buah kentang (210 gram). Lalu, dua buah pisang (117 gram) setara dengan seporsi nasi. Terakhir, seporsi nasi sebanding dengan 50 gram sagu.
Beragam pangan lokal sumber karbohidrat non beras ini selain mengenyangkan juga menyehatkan, sehingga bagi yang ingin melakukan diet juga sangat baik untuk mengonsumsi pangan lokal tersebut. Tentu disertai dengan olahraga yang teratur dan gaya hidup sehat.
Sejarah Gerakan Konsumsi Non Beras
Sebenarnya, gerakan diversifikasi pangan yang dicanangkan oleh Kementerian Pertanian telah dilakukan sejak 1964, yaitu di masa pemerintahan Soekarno. Malam itu, 12 Juli 1964, meja makan di Istana Bogor penuh dengan beragam sajian makanan jagung. Sejak saat itu, Sukarno mencanangkan revolusi menu makan orang Indonesia.
Dikutip dari Historia. id, Tahun 1963, Indonesia kekurangan pasokan beras. Impor beras tak bisa menutup kekurangan itu. Masalah ini sudah terjadi dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi tiap tahun angka kekurangan beras selalu melebar. Menurut Sukarno, menggantungkan urusan pangan pada impor sangat berbahaya. Tak sesuai pula dengan tujuan Ekonomi Terpimpinnya agar lepas dari kebergantungan.
Untuk mengatasi kekurangan beras tersebut, Sukarno menempuh cara lain. Presiden Soekarno memulai gerakan mengganti beras dengan jagung. Presiden Sukarno memulai gerakan mengganti beras dengan jagung,” catat L.A. Mears dan S. Moeljono dalam “Kebijaksanaan Pangan” termuat di Ekonomi Orde Baru suntingan Anne Booth dan Peter McCawley.
Kampanye makan jagung mulai menyebar ke berbagai lapisan masyarakat. Lembaga Makanan Rakjat (LMR) turut membantu seruan Sukarno. Lembaga pimpinan dokter Dradjat Prawiranegara ini memproduksi informasi secara besar-besaran tentang kandungan gizi jagung.
Dari kalangan intelektual, Prof. Dr. Poorwo Soedarmo dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mendukung upaya revolusi menu. Dia menulis sejumlah artikel di media massa untuk memperkenalkan bahan pangan utama selain beras, salah satunya jagung. Dia juga berbagi tips cara memilih dan mengolah jagung agar gizinya tak hilang.
Poorwo Soedarmo dalam mendukung jagung sebagai bahan pangan utama selain beras itu menekankan pentingnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan bahan pangan. Dia menyatakan rakyat dapat mengambil bahan pangan utama sesuai dengan potensi daerahnya.
Menurutnya, umbi-umbian yang tersedia banyak di daerah dapat dijadikan bahan pangan utama. Tinggal bagaimana menemukan cara pengolahan yang tepat. Dengan demikian, seluruh Indonesia tak perlu harus seragam dalam hal makanan. Kebergantungan pada beras pun bisa berkurang. Tapi ini bukan berarti menempatkan urusan beras menjadi tidak penting.