Mediatani – Muara Kalibaru merupakan salah satu daerah di pinggir laut Jakarta Utara yang masyakatnya masih banyak bermata pencaharian sebagai nelayan.
Pemandangan lain yang juga tampak di kawasan itu, yakni banyak masyarakat yang menjemur ikan, seperti ikan teri, udang kecil dan ikan asin campur lainnya untuk di jual. Selain nelayan dan penjual ikan kering, ternyata pengecer juga menjadi salah satu profesi yang ditekuni oleh beberapa warga.
Aktivitas dari pengecer ikan ini bukan seperti menjual ikan di darat kepada konsumen di pasar, melainkan aktivitas membeli ikan dari nelayan di lautan lepas dan menjualnya lagi ke pedagang yang terdapat pasar ikan.
Hal itulah yang dilakukan oleh Abdurahman. Pria ini ternyata adalah mantan office boy yang memilih untuk menjadi pengecer ikan sejak Ahok tidak menjabat lagi sebagai Gubernur DKI. Pasalnya, saat itu tempatnya bekerja ditutup dan membuatnya kehilangan pekerjaan.
“Belasan tahun saya jadi office boy. Tapi pas tempat kerja saya tutup, saya coba ikut teman bekerja,” katanya, dilansir dari TribunNews, Sabtu, (17/4/2021).
Pekerjaan yang dilakukan Bersama temannya itu adalah membeli ikan dari nelayan di laut, lalu menjualnya kembali ke pedagang di pasaran. Ia pun mempelajari pekerjaan yang dilakukan temannya itu selama setahun lamanya.
Hingga akhirnya Pria yang akrab disapa Aco ini memberanikan diri untuk menjual kendaraan miliknya guna membeli perahu kecil. Ia mengaku membeli perahu dan perlatannya itu sampai menghabiskan kurang lebih sekitar Rp 13 juta.
Adapun modal awal yang dikeluarkannya untuk ke laut hanya Rp 1000.000, yang kemudian digunakan untuk belanja ikan teri, udang, atau berbagai ikan lainnya yang ditangkap nelayan.
Pengalaman saat masih ikut temannya pun ia praktikkan ketika pertama kali mencoba melaut sendirian. Begitu juga untuk memperoleh informasi harga di darat agar proses tawar-menawar di lautan lancar.
“Harus tahu dulu harga di darat. Jangan sampe kita asal beli, tau-taunya merugi. Selain itu, harus kenal dengan pedagang ikan juga,” jelasnya.
Untuk membeli ikan di laut, ia harus berangkat melaut mulai pukul 06.00 WIB. Ia menentukan tujuan lokasinya dengan mengikuti arah nelayan berangkat, dan berusaha menemuinya di lautan.
Aco mengatakan bahwa selain dirinya ada juga masyarakat lainnya yang bekerja sebagai pengecer di laut. Menurutnya, keberhasilan menjadi pedagang pengecer tergantung dari kepintaran dan kemampuan komunikasi dengan nelayan dan juga pedagang di pasar.
Proses negosiasi yang dilakukan di lautan tidak jauh beda dengan jual-beli dagangan di darat. Hanya saja, alat yang biasanya digunakan hanya sebuah keranjang trissa.
Hingga dalam beberapa waktu kemudian, Aco telah memiliki modal di atas Rp 1.000.000. Bahkan, saat ini dirinya bisa membawa modal Rp 4.000.000 ke laut untuk membeli hasil tangkapan nelayan.
“Satu tris penuh biasanya saya tembak harganya. Kadang Rp 1.000.000, kadang Rp 1.100.000. Untuk besaran berapa Kilo kadang pakai feeling saja. Biasanya ikan teri dan udang harganya beda-beda,” jelasnya.
Agar ikan tetap dalam keadaan segar, Aco menggunakan bongkahan es. Ikan yang berhasil dibelinya akan langsung dimasukkan ke dalam drum plastik yang berisi es. Ikan yang sudah masuk lalu ditumpuk kembali dengan es.
“Saya biasanya jual ke Muara Angke. Kadang di sini juga, kan sudah ada langganan,” ucapnya sambil tertawa.
Dari pekerjaannya sebagai pengecer ikan itu, biasanya Aco bisa mendapatkan laba bersih Rp 150.000 per harinya. Namun, ia mengaku tidak pergi melaut saat bulan purnama karena kondisi air yang pasang. Saat itu, Aco memanfaatkan waktunya itu untuk merawat perahu miliknya.
Aco juga mengaku tidak berani mengambil resiko melaut saat cuaca buruk. Ia terkadang memutuskan untuk pulang ketika badai mulai terlihat dari arah utara.
” Saya tak berani. Ombaknya bisa dua meteran lebih. Kapal saya tak kuat,” paparnya.
Selain itu, perahunya juga kerap bocor karena tergores kayu yang terdapat di pesisir pantai, bekas penambak kerang hijau. Ia pun mengaku hanya menggunakan lem air untuk menambal bagian yang bocor untuk sementara.
“Makanya sebelum berangkat, semuanya harus siap, termasuk jangkar. Itu penting. Bagi saya pribadi, saya menghindari namanya berangkat malam. Saya masih takut,” ucapnya sembari tertawa.
Meski usahanya menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, namun ia mengaku tak jarang mengalami kerugian. Terutama saat ikan dari Lampung atau dari daerah Jawa lainnya masuk, ia bisa merugi hingga Rp 600.000.
“Tidak menentulah. Namun, selama sebagai pengecer, saya masih untung kok. Bahkan modal awal sudah kembali,” tutupnya.