Mediatani – Pemerintah Inggris telah berencana untuk mendanai proyek pembangunan jaringan kamera bawah laut berskala besar untuk mengamati populasi spesies laut, khususnya kehidupan satwa-satwa yang terancam punah seperti penyu, hiu dan berbagai ikan lainnya.
Jaringan kamera pengawas tersebut diharapkan dapat membantu peneliti dalam memantau satwa laut dalam skala yang lebih luas untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Rencana pembangunan jaringan kamera pengawas bawah laut itu telah diumumkan beberapa waktu lalu.
Proyek yang dinamakan “Baited Remote Underwater Video Systems” (Sistem Video Bawah Air Jarak Jauh Berumpan yang tidak mengganggu) atau disingkat BRUVS. Proyek tersebut akan mulai dikerjakan di Kepulauan Virgin, Inggris.
Proyek ini dipimpin oleh para ilmuwan dari Pusat Ilmu Lingkungan, Perikanan dan Budidaya Pemerintah Inggris, University of Western Australia, dan mitra PL yang bekerja dengan Blue Abacus, sebuah organisasi yang mengumpulkan data tentang populasi ikan.
Dalam proyek ini, para peneliti akan memasang kamera-kamera kecil berbahan serat karbon pada kedalaman sekitar 30 kaki di bawah permukaan laut. Kamera akan mengamati pergerakan satwa dan mengumpulkan data dalam jangka waktu tertentu.
Dilansir Huffpost. com, rencananya proyek tersebut akan menjangkau sejumlah perairan di seluruh dunia, yang mencakup empat samudra dan Karibia di perairan dekat 10 wilayah terluar negeri Inggris Raya.
Jessica Meeuwig, seorang profesor di University of Western Australia sekaligus pemimpin proyek ini menjelaskan bahwa banyak perairan internasional di dunia, ratusan mil lepas pantai, masih belum dipahami dengan baik.
“Kebanyakan orang menganggap itu baik-baik saja karena tidak terlihat, di luar pikiran. Orang tidak benar-benar tahu apa itu satwa liar,” kata Meeuwig.
Saat ini, hanya terdapat sekitar 7,65% samudra di dunia yang dinyatakan sebagai kawasan perlindungan laut dan lebih dari 1% dari kawasan itu terletak di dalam “laut lepas”, yaitu wilayah samudra yang jauh dari daratan dan tidak masuk dalam yurisdiksi satu negara.
Pengujian pada jaringan kamera pengawas itu telah dilakukan dan berhasil menangkap rekaman mahi-mahi yang berkilauan, ikan marlin yang berenang bergerombol dan tuna sirip kuning.
Para peneliti juga berharap bisa mengamati pergerakan cumi-cumi Gould, ular laut dan wedgefish hidung botol. Ke depan, para peneliti menargetkan untuk mengamati populasi untuk melihat apakah mereka stabil atau mengalami penurunan akibat penangkapan ikan berlebih dan perubahan iklim.
Proyek ini dianggap sebagai upaya untuk mendukung program internasional yang dikenal sebagai 30×30 yang tujuannya untuk melindungi 30% wilayah daratan dan air planet bumi pada tahun 2030. Para ahli menilai program ini sebagai tolok ukur penting untuk melakukan upaya pencegahan kepunahan spesies.
Presiden AS Joe Biden bahkan telah menandatangani perjanjian untuk mengarahkan Departemen Dalam Negeri untuk menyusun rencana memenuhi atau melampaui tujuan 30×30 itu.
Dibanding beberapa negara yang memiliki rencana perlindungan, Amerika Serikat lebih maju dengan langkah perluasan Monumen Nasional Laut Papahānaumokuākea yang dibangun pada era mantan Presiden Barack Obama di Hawaii pada tahun 2016.
Sebuah studi yang dilakukan pada bulan Januari lalu, ditemukan populasi hiu dan pari samudra yang mengalami penurunan lebih dari 70% sejak tahun 1970. Penurunan populasi tersebut terutama disebabkan karena penangkapan ikan berlebih untuk mengambil sirip hiu dan bagian tubuh lainnya.
Selama satu dekade, para ilmuwan juga telah memberi peringatan bahwa populasi tuna sirip kuning dan tuna sirip biru telah menurun, ancaman penangkapan ikan berlebihan semakin membahayakan banyak ikan endemik yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Timothy Austin, Wakil Direktur Penelitian dan Penilaian di Departemen Lingkungan wilayah
Kepulauan Cayman mengungkapkan bahwa kamera BRUVS telah terbukti berguna di wilayah tersebut.
“BRUVS yang dipasang dekat pantai telah menjadi alat penelitian penting untuk menginformasikan spesies laut dan pengelolaan kawasan lindung di Kepulauan Cayman,” ungkap Austin dalam rilisnya.
Menurutnya, upaya untuk membawa teknologi ini lebih jauh ke luar negeri akan sangat meningkatkan kemampuan Kepulauan Cayman untuk menerapkan rezim konservasi yang berarti dan efektif untuk ekosistem yang masih kekurangan data, kurang dipahami, tetapi sangat penting.