Mediatani – Saat kecil, setiap liburan sekolah, saya selalu diajak oleh orang tua untuk pulang ke kampung. Pulang dalam hal ini, adalah berkunjung ke rumah nenek di Desa Tabo-Tabo, Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan.
Memori tentang nenek yang seorang petani, gesit, bersuara keras dan tegas, tidak hilang hingga dewasa. Saya melihat nenek saat ini, sama seperti saya ketika masih kecil. Usia tidak menjadikan tubuh nenek menua yang pada akhirnya melumpuhkan pekerjaannya sebagai petani.
Setahun terakhir, saya memutuskan tinggal bersamanya. Ini saya lakukan untuk mengetahui kunci dan kiat sukses merawat tubuh tetap bugar di usia yang sudah senja.
Dalam perjalanan tinggal bersama nenek itulah, saya menemukan bahwa kekuatan nenek berasal dari kerja-kerja pertanian yang sangat erat kaitannya dengan tradisi, adat, dan kepercayaan. Lalu, bagaimana nilai-nilai luhur yang dipegang sejak dahulu bisa saling bertemu, bersilangan, atau bahkan melebur dengan modernisasi?
Mengenal Nenek Male
Saya memanggilnya Nenek Male. Nama “Male” berasal dari nama aslinya Kamariah (Namun, orang Bugis terbiasa mengakhiri sebuah nama dengan huruf vokal), yakni Kamariah menjadi “Kamare”. Sebab, masih belajar mengeja, saya hanya mengambil sebutan paling mudah dan akhir, yakni “Mare” menjadi “Male” karena saya belum bisa melafalkan huruf “R”, sehingga panggilannya menjadi “Nenek Male”.
Ketika nenek pulang berhaji, orang-orang mengganti nama panggilannya menjadi “Ummi”. Akan tetapi, saya tetap konsisten memanggilnya Nenek Male, demi terus menghidupkan masa kecil dan menghargai proses saya belajar berbicara saat bocah.
Nenek Male diasuh oleh orang tua yang juga seorang petani. Kakeknya adalah seorang pembuka lahan pada masa penjajahan Belanda. Pada pemerintahan masa itu, sang kakek kerap diperintah membuka lahan untuk pemukiman, ataupun pertanian. Usaha keras membuka lahan menguntungkan keturunannya hingga sekarang.
Setiap berhasil membuka lahan, sang kakek juga mendapatkan jatah tanah, yang beberapa di antaranya dijadikan sebagai tempat membangun rumah ataupun dijadikan sebagai sawah. Modal tanah dan persawahan yang cukup luas itu dilanjutkan dan dihidupkan oleh Nenek Male bersama saudara-saudaranya.
Menyambut musim hujan di penghujung tahun, Nenek Male mulai sibuk persiapan menanam padi. Proses menyemai ase (gabah) dimulai di pertengahan bulan Desember. Nenek mengambil ase dari tempat penyimpanan yang Orang Bugis menyebutnya rakkeang. Tempat peyimpanan gabah itu berada di antara atap dan palfon rumah panggung.
Setelah mengambil gabah, nenek kemudian melakukan ritual mappasili untuk memberangkatkan (panggujui) gabah untuk ditanam. “Dipassili i asenna ase ko eloni dipanggujui” (Gabah dipassili sebelum diberangkatkan ke sawah untuk ditanam kembali), kata nenek, sebelum mengambil air di dapur. Massili ase adalah menyiram air ke gabah dengan tanaman khusus.
Di malam-malam, yang biasanya kami beristirahat, saya sering bertanya tentang mengapa ritual-ritual tersebut harus dilakukan. Pasalnya, nenek adalah orang yang paling rasional dan logis yang pernah saya temui.
Ia tidak akan memberikan kita jawaban secara simplifikasi, seperti “karena ritual tersebut telah dilakukan secara turun-temurun.” Tapi, nenek bisa menjelaskan ritual-ritual tersebut melampaui kemampuan kita membaca tentang budaya, tradisi, dan, ekologi. Nenek bisa menjelaskan secara sempurna, logis, dan tentu dengan bahasa yang sangat sederhana.
“Ne, magai na dipassili i ase ko eloni ri taneng” (mengapa harus ada ritual mappasili sebelum menanam padi), tanya saya pada suatu malam kepada nenek, selepas kami makan malam. Nenek pertama-tama, menjelaskan bahwa sebuah ritual harus dijalankan sebagai bentuk penghormatan kita terhadap padi (etika).
Menurutnya, padi telah memberikan kehidupan kepada manusia, maka manusia secara sadar juga harus menghidupkan padi. Saling menghidupkan (Sipakkatuo). Padi yang dipassili diharapkan memberikan hawa dingin dan tenang. Air menyimbolkan gerakan yang mengalir dan tenang.
Selain dipassili, gabah juga disuloi (diterangi dengan nyala api). Untuk melakukan ritual itu, nenek membuat pelleng (lilin) dengan menumbuk kemiri hingga halus kemudian dibungkuskan pada irisan bambu berbentuk pipih hingga menyerupai lilin.
Kemiri yang menghasilkan minyak memantik nyala api. Pelleng ditancapkan pada beberapa karung berisi gabah yang dipersiapkan untuk disemai. Ritual massuloi gabah memiliki arti dan doa, agar bulir-bulir padi bermunculan secara sempurna, “supaya malengo toi ase e messu mappada minya e” ungkap nenek.
Selain itu, nenek juga menyiapkan onde-onde (kelepon), kelapa, kemenyan, telur, dan sokko (beras ketan). Semua bahan ritual itu diletakkan di sekitar gabah. Nenek juga mengambil daun sirih yang dibentuk menyerupai burung, lalu disimpan di atas daun pisang yang dipotong bulat. Setelah itu, nenek mulai menyalakan pelleng dan membaca doa.
Prinsip saling menghidupkan antara manusia dan alam menjadikan hubungan antara keduanya berjalan harmonis. Nenek memercayai bahwa alam dan manusia sudah sepatutnya membangun harmonisasi, sebab manusia tidak dapat hidup dengan stabil jika alam mengalami kerusakan/ketidak-seimbangan.
Ketika nenek menjaga dan merawat tanaman-tanaman, ia sama saja telah merawat dan menjaga tubuhnya. Nenek tidak hanya menjaga dirinya sendiri, tapi memastikan tempat tinggal jutaan manusia layak dihuni.
Persilangan antara Tradisi dan Modernisasi
Salah satu hal menarik ketika ikut menyaksikan ritual dan tradisi yang dilakukan nenek adalah tentang bagaimana tradisi tersebut bercampur dengan kepercayaan agama Islam dan juga modernisasi.
Dulu, sebelum mesin-mesin melimpah ruah, nenek menggarap sawahnya dengan mengandalkan tenaga sapi atau kerbau sebelum akhirnya berganti menjadi traktor. Ketika ingin mengairi sawah, orang-orang dulu membuat jalan air secara manual yang airnya bersumber dari sungai.
Ketika musim panen, perempuan-perumpuan menumbuk padi di kolong rumahnya sambil berdendang. Tapi, hari ini pemandangan tersebut sangat susah didapatkan. Beberapa orang telah membeli pabrik penggiling padi.
Orang-orang tidak perlu mengeluarkan tenaganya menumbuk padi menjadi beras. Dengan mesin, padi-padi tersebut keluar menjadi beras dari corong mesin dalam keadaan utuh.
Nenek yang telah merasakan dua masa sekaligus, sebelum dan setelah teknologi modern bagi saya adalah sebuah kelebihan. Nenek mengerti bahwa nilai-nilai keluhuran tetap harus dijaga, sebab hal itu telah menghidupkannya hingga hari ini.
Tapi, nenek juga tidak menutup diri pada perkembangan zaman, pada mesin, pada penemuan-penemuan baru tentang pertanian, dan pada kepercayaannya terhadap tradisi, termasuk kepercayaannya terhadap Islam.