Mediatani – Manajer Riset Traction Energy Asia Ricky Murti mengatakan pihaknya mendukung jelantah sebagai bahan biodiesel sebab program B30 standar yang tengah diupayakan pemerintah berpotensi menyebabkan defisit pasokan CPO pada 2023 dan mengancam kawasan hutan karena ekspansi lahan perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan pasokan bahan baku.
“Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dapat membantu pemerintah mengatasi fluktuasi Harga Indeks Produksi (HIP) Biodiesel dari CPO dan solar yang tergantung pada harga di pasar internasional,” kata Ricky dikutip dari laman Tirto.id.
Hal ini pun sejalan dengan pernyataan Subkoordinator Keteknikan Bioenergi Kementerian ESDM Hudha Wijayanto yang menilai jumlah potensi jelantah Indonesia mampu memenuhi 32 persen kebutuhan biodiesel secara nasional.
Konsumsi minyak goreng di negara ini juga menghasilkan 13 juta ton jelantah pada tahun 2019.
Sebagai pembanding, Uni Eropa menghasilkan 22,7 juta ton, Amerika Serikat 16 juta ton, dan India 23 juta ton.
Dari situ, sayangnya, hanya 18,5 persen jelantah yang dapat dikumpulkan. Dalam konteks inilah upaya-upaya mengumpulkan jelantah menjadi penting.
Pemanfaatan jelantah sebagai bahan baku biodiesel akan menjadi contoh konkret ekonomi daur ulang yang efisien dan multi manfaat.
Pemerintah hanya perlu menyiapkan regulasi agar setiap sektor: rumah tangga, perhotelan, restoran, dan kafe; bersedia menjadi pemasok jelantah.
“Dengan sistem tersebut, masalah minyak jelantah yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan dapat teratasi, kebutuhan pasokan biodiesel dapat terpenuhi, dan dapat berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi,” kata Ricky.
Sementara itu, masih dilansir dari laman yang sama, seorag ibu rumah tangga, Maryati yang berdomisili di Jakarta Selatan mengaku tak melwati hari tanpa makan makanan gorengan.
Maryati gemar tempe goreng tepung, kedua anak remajanya menyukai aneka makanan daging olahan beku, dan sang suami menjagokan telur goreng mata sapi dan ayam goreng.
Meski dia paham terlalu sering mengonsumsi makanan berminyak akan berdampak buruk bagi kesehatan. Suaminya pun sudah terkena kolesterol dan setiap kali periksa ke dokter selalu diminta mengurangi melahap menu gorengan.
Yang tidak Maryati paham, ke mana harus membuang sisa minyak goreng bekas pakai. Dalam sebulan mereka bisa menghabiskan tiga liter minyak goreng sawit.
Seumur hidup Maryati membuang jelantah ke selokan air atau lahan tanah kosong dekat rumah. Terkadang ketidakpahaman perempuan 47 tahun itu berbuah perkara karena ia panik mendapati air tergenang di saluran tempatnya mencuci piring.
Karena saat itu di rumah seorang diri, Maryati berinisiatif membuka tutup saluran dan menyodok lubang dengan batang bambu.
Ada ampas sayuran atau plastik kemasan yang tersangkut, pikirnya. Namun tidak terlalu banyak membantu.
“Saya pakai soda api dan air panas. Air kembali mengalir normal untuk beberapa saat,” ujarnya.
Namun mampat terulang beberapa waktu kemudian, padahal Maryati sudah menambahkan jaring filter di lubang air.
Ia yakin seluruh ampas sayuran dan plastik sudah terbuang di tempat sampah. Sebagai upaya pamungkas, ia mengandalkan jasa penyedot WC.
“Hasilnya banyak kandungan minyak yang bikin aliran air jadi tersumbat,” ujarnya.
Sejak saat itu ia menyadari jelantah tidak bisa diperlakukan asal. Akhirnya, ia membuang jelantah ke tukang pengangkut sampah harian dengan cara menitipkan dua botol ukuran satu liter setengah.
Upaya tersebut hanya memindahkan persoalan saja, sebab Maryati tidak memahami nasib jelantah di tangan para pengangkut.
“Saya tidak paham, mereka akan apakan itu. Diolah atau dibuang begitu saja,” ujarnya.
Dari perisitiwa ini mungkin juga banyak dari kita yang mengalaminya.
Persoalan limbah jelantah juga mengusik kehidupan Reby Bagja Herdian.
Ia sempat kelimpungan untuk mengalokasikan stok jelantah di rumah sebelum akhirnya sejak setahun terakhir bersama organisasi Tunasmuda Care yang ia pimpin menginisiasi gerakan Donasi Jelantah, dengan lokus DKI Jakarta dan sekitarnya.
“Kami diskusi dengan DLH DKI Jakarta, infonya jelantah yang terbuang dalam satu bulan mencapai 4 juta liter,” imbuhnya.
Reby bekerja sama dengan 4 ribu relawan yang tersebar di beberapa kecamatan DKI Jakarta, semisal Cipayung, Ciracas, Kramat Jati, Makasar, Pasar Rebo, Duren Sawit, Matraman, dan Pulo Gadung.
Setiap bulan rerata ia dan tim bisa mengumpulkan 20 ribu liter jelantah hasil rumah tangga.
Sebelum ia mengangkuti jelantah di satu lokasi, tim terlebih dulu melakukan sosialisasi dan baru membentuk relawan di setiap titik pengangkutan.
Ia menyadari bahwa masyarakat pada umumnya sudah mengetahui dampak buruk minyak goreng bagi kesehatan.
“Minyak jelantah menjadi faktor penyebab banjir. Kalau banjir besar Jakarta itu karena sampah padat, tapi kalau banjir lokal di rumah, besar kemungkinan yang membuat mampat selain sampah padat, ya, jelantah itu,” ujarnya.
Sayangnya ia belum bisa mengolah limbah jelantah secara mandiri. Ia bekerja sama dengan rekanan swasta yang akan mengekspor ke beberapa negara di Eropa untuk diolah.
“Pemprov [DKI Jakarta] sendiri belum ada dan belum punya. Kebanyakan mereka [mengolah] sampah padat. Yang di Bantargerbang saja persoalannya belum selesai-selesai,” tuturnya.
Donasi Jelantah sedang membangun komunikasi dengan para peneliti dari Universitas Trisakti agar dapat mengolah jelantah mandiri.
Nantinya minyak-minyak tersebut akan diubah menjadi biodiesel dengan peruntukan industri.
Reby berharap ide ini bisa terealisasi dua tahun lagi.
“Pertimbangannya nilai pasar. Karena kalau [diolah sebagai] minyak curah, setahu saya minyak goreng tidak boleh sering dipakai. Diolah sebagai sabun, tergantung risetnya. Intinya agar ada manfaat lanjutannya,” ujar Reby.
Jelantah pun sebenarnya bisa menjadi pengganti bahan baku crude palm oil (CPO) untuk biodiesel. (*)