Mediatani – Pada tahun 2020 lalu, nelayan rajungan dari beberapa daerah di Indonesia telah resmi membentuk forum komunikasi yang dinamakan Forum Komunikasi Nelayan Rajungan Nusantara (Forkom Nelangsa). Hingga saat ini, forum tersebut terus melakukan konsolidasi anggota.
Dilansir dari Mongabay, Koordinator Nasional Forkom Nelangsa, Mustain menjelaskan bahwa visi forum tersebut adalah menuju pengelolaan perikanan rajungan berdasarkan prinsip pemanfaatan yang berkelanjutan, dan berkeadilan. Sebab, para nelayan rajungan menyadari keberlangsungan mata pencarian mereka tergantung pada kelestarian sumberdaya rajungan.
Hal tersebut disampaikannya saat melakukan pertemuan secara daring dengan Direktur Perijinan dan Kenelayanan serta Direktur Pengelolaan Sumber Daya Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rabu (5/5/2021).
Lebih lanjut Mustain mengungkapkan bahwa forum ini dibentuk dengan tujuan untuk menyalurkan aspirasi nelayan rajungan dan menjadikan nelayan tersebut sebagai pelaku aktif dalam perencanaan pengelolaan perikanan rajungan baik di daerah masing-masing maupun di tingkat nasional.
Meskipun masih merupakan lembaga baru, namun selama ini para anggota forum sudah berinisiatif melakukan berbagai aktivitas pemanfaatan rajungan yang berkelanjutan, seperti pembuatan apartemen rajungan, pengembangan kawasan perlindungan rajungan serta berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan provinsi, maupun dengan mitra lainnya.
“Semoga nantinya kami bisa lebih aktif berperan dalam mewujudkan pemanfaatan rajungan yang berkelanjutan sekaligus berharap bisa mendapatkan bimbingan dari pemerintah dalam pengembangan kapasitas berorganisasi dan program kerja,” ujarnya.
Setelah udang dan tuna, rajungan merupakan komoditas ekspor hasil perikanan terbesar di Indonesia. Rajungan termasuk sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan karena memiliki nilai ekonomis tinggi. Sebagian besar komoditas rajungan ini diekspor ke Amerika Serikat.
Keunggulan tersebut menjadi potensi bagi para nelayan rajungan untuk mengangkat kesejahteraan mereka yang sebagian besar merupakan nelayan skala kecil yang menggunakan kapal-kapal berukuran <10 GT.
Mustain menuturkan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara berkembang memiliki pengelolaan perikanan skala kecil yang masih menghadapi berbagai tantangan, di antaranya data memadai yang tidak tersedia, masih banyaknya kapal nelayan yang belum terdaftar, konflik antar nelayan terkait alat tangkap dan jalur penangkapan.
Selain itu, kapasitas organisasi nelayan yang masih kurang serta komunikasi intensif antara pemerintah dan nelayan yang kurang, sehingga menyebabkan banyak nelayan yang tidak terlibat dalam diskusi pengelolaan sehingga suara nelayan kecil tidak terakomodasi.
“Dengan fakta ini seharusnya nelayan sebagai pihak yang paling paham kondisi riil di lapangan diberikan ruang lebih besar dalam menyampaikan aspirasinya perihal kebutuhan mereka,” ungkapnya.
Terkadang, tambah Mustain, berbagai kebijakan kementerian terkait perikanan rajungan, misalnya tentang ukuran minimal yang boleh ditangkap dan pelepasan rajungan bertelur tidak terimplementasi dengan baik di lapangan karena berbagai faktor.
Berbagai faktor yang mempengaruhi hal itu diantarnya, seperti kurangnya sosialisasi dan lemahnya pengawasan dari pihak terkait serta masih beroperasinya alat tangkap yang merusak lingkungan seperti cantrang yang kerap menimbulkan konflik antar nelayan.
“Dengan melibatkan para nelayan sebagai agen perubahan tentu bisa memberikan dampak positif bagi komunitas nelayan lainnya karena jika rajungan tereksploitasi maka akan merugikan nelayan sendiri,” tuturnya.
Dalam diskusi tersebut, Sekretaris Forkom Nelangsa, Nur Alimin juga menekankan bahwa nelayan rajungan juga berkeinginan untuk turut menyukseskan program pemerintah dalam mendorong keberlanjutan rajungan di Indonesia.
“Kami nelayan rajungan juga berkeinginan untuk terlibat dan berperan aktif dalam membantu dan mendukung upaya pemerintah dalam keberlanjutan sumberdaya rajungan di Indonesia,” ujar Nur Alimin.
Atas hal itu, para nelayan rajungan memandang perlu membentuk sebuah wadah komunikasi antar nelayan yang dapat bersinergi dengan program dan strategi pemerintah sehingga berbagai isu ini dapat ditangani dengan lebih baik.
Seperti masalah tambang pasir yang dihadapi oleh nelayan rajungan di Lampung dan Makassar. Aktivitas penambangan pasir ini telah memberikan dampak buruk bagi nelayan dalam usaha penangkapan rajungan.
“Akibat dari usaha tambang pasir tersebut, pendapatan nelayan dirasakan semakin menurun karena kondisi perairan menjadi keruh dan tercemar sehingga berpengaruh pada hasil tangkapan,” kata Miswan, nelayan rajungan dari Lampung.