Mediatani – Kepala Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Analitika Data, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Dewi Hidayati SSi MSi menaruh perhatian lebih atas fenomena puluhan paus yang terdampar di Pantai Modung, Bangkalan.
Dewi mengutarakan bahwa berdasarkan referensi dari beberapa jurnal dan laporan media massa, dalam periode tertentu ikan paus akan melakukan migrasi secara berkelompok. Umumnya di perairan Indonesia, paus yang bermigrasi adalah jenis paus pilot atau short-finned pilot whale.
Paus yang terdampar sebanyak 52 ekor tersebut diperkirakan berasal dari perairan Australia dan sedang melewati perairan Indonesia. Dalam sebuah jurnal dari journals.org yang membahas tentang aktivitas migrasi paus menjelaskan bahwa migrasi yang dilakukan paus tersebut akan mencapai puncaknya pada bulan Februari dan Mei.
“Pada penelitian tersebut dan juga beberapa laporan lain menyebutkan bahwa paus umumnya akan melewati jalur yang sama untuk bermigrasi,” ujarnya, dilansir dari BeritaJatim, Senin (22/2/2021).
Mengenai kemampuan paus yang mampu mengingat jalur yang dilalui setiap tahunnya, hal ini bisa dilakukan berkat adanya biomagnitit. Dewi menjelaskan, biomagnitit yang dimaksud adalah suatu zat yang berada pada retina cetacea yang berfungsi sebagai indra magnetis untuk membantu mereka mengetahui ke arah mana bergerak.
“Hal ini membuat paus peka terhadap perubahan medan magnet bumi,” ucapnya.
Berdasarkan penjelasan sebuah referensi artikel ilmiah berjudul In – depth Whale Navigation: Navigating the Long Way Home yang dibuat oleh Robin Marks, dikatakan bahwa paus yang mengikuti ‘jalur’ magnet ini berisiko akan terdampar di daerah yang jalurnya berbelok, termasuk di beberapa perairan pantai Pulau Madura dan kawasan Selat Madura.
Dewi memperkirakan, ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi perubahan pada navigasi paus, mulai dari cuaca yang ekstrem, gelombang sinar matahari, perubahan garis pantai, paus yang dalam kondisi sakit, dan bisa juga karena aktivitas kilang minyak yang berada di sekitar perairan.
“Karena ada juga referensi yang mengatakan bahwa rig (bangunan lepas pantai, red) dijadikan patokan magnetik bagi paus,” ungkapnya.
Dosen yang merupakan anggota Laboratorium Zoologi dan Rekayasa Hewan Biologi ITS ini mengatakan bahwa ada banyak teori yang berhubungan dengan anomali ini, karena telah banyak kasus yang terjadi namun belum diketahui pasti penyebabnya.
Menurut pengamatannya, saat ini masyarakat telah melakukan beberapa upaya penyelamatan dengan kearifan lokalnya. Ia berharap ke depannya, masyarakat setempat bersama institusi terkait dapat menyusun protokol langkah mitigasi dalam menangani kasus paus yang terdampar. Pasalnya, kasus ini tidak hanya sekali terjadi di Indonesia.
Dengan respon yang cepat dari masyarakat, diharapkan paus yang terdampar dapat dibantu untuk kembali melakukan perjalanan migrasinya. Apalagi, menurutnya, ukuran tubuh paus yang besar membuatnya tidak dapat bermanuver kembali ke laut, sehingga membutuhkan bantuan langsung dari manusia.
Dewi menyarankan beberapa langkah yang dapat dilakukan masyarakat saat ini untuk mengatasi masalah paus terdampar di pantai, salah satunya dengan memprediksi kapan dan di mana peristiwa paus biasanya terdampar.
“Bisa digalakkan untuk membangun pos paus di sekitar pantai, pos ini berfungsi sebagai pemantau kondisi pantai, juga bisa sebagai media edukasi paus,” jelasnya.
Selanjutnya, apabila masyarakat melihat paus yang sedang terdampar, ia menganjurkan masyarakat untuk dapat menjaga paus tetap dalam keadaan basah karena kematian paus mati disebabkan karena hilangnya kadar air di tubuhnya secara drastis. Langkah ini bisa dilakukan dengan segera menyiramnya dan membasahi tubuh paus dengan air laut, atau dengan segera melepasnya ke laut kembali.
Bahkan jika langkah tersebut tidak memungkinkan dilakukan, untuk mengurangi penderitaan, beberapa referensi ilmiah menyarankan euthanasia. Salah satu referensi yang menjelaskan hal ini terdapat pada buku National Guidance on the Management of Whale and Dolphin Incidents in Australian Waters.
Sedangkan untuk perlakuan bangkai paus yang ditemukan, Dewi menyarankan untuk mengutamakan membuang bangkai ke laut, karena bangkai tersebut dapat menjadi sumber makanan predator yang dapat berkontribusi pada rantai makanan laut.
“Atau mungkin dari rangka paus yang mati bisa dijadikan sebagai sumber bahan pengajaran untuk mengembangkan studi tentang mamalia laut ini,” tandas Dewi.