Mediatani – Pembudidaya ikan patin di Tulungagung, Yoyok Mubarok mengaku memilih untuk beralih membudidayakan komoditas ikan hias. Hal ini dilakukannya karena pandemi Covid-19 telah menekan pasar ikan patin.
Adapun ikan hias yang dibudidayaka oleh Pengurus Kelompok Tani Ikan Mina Makmur Desa Bendiljati Wetan, Kecamatan Sumbergempol, Tulungagung ini adalah jenis ikan koi. Dari 15 kolam ikan milikinya, ia mengubah 10 kolam untuk menjadi tempat budidaya ikan koi.
“Selama pandemi kemarin ada ribuan ton ikan patin yang sulit diserap pasar. Akibatnya banyak merugi, dijual banting harga,” ungkap Yoyok dilansir dari SuryaMalang. com, Jumat (7/5/2021).
Menurut Yoyok, meskipun Desa Bendiljati Wetan termasuk sebagai kawasan sentra patin terbaik di Tulungagung, namun pembudidaya ikan di desa tersebut telah kehilangan semangatnya alias frustasi.
Mereka kebanyakan memilih bertahan membudidayakan ikan namun beralih ke berbagai jenis ikan hias, seperti koi, koki, cupang dan guppy.
“Sekarang yang sedang tren adalah koi dan cupang. Biaya ikan hias lebih murah, hanya butuh perawatan ekstra,” tambah Yoyok.
Warga Desa Bendiljati Wetan ini dulunya memang pembudidaya ikan hias. Lalu mereka memilih beralih membudidaya patin dan gurami karena keuntungannya dianggap lebih menjanjikan. Namun mereka tetap mempertahankan ikan hias miliknya untuk menambah pendapatan sehari-hari.
“Kalau ikan konsumsi kan jangka panjang, butuh waktu sekurangnya sembilan bulan, untungnya besar. Tapi kalau ikan hias, istilahnya bisa diuangkan sewaktu-waktu, tidak harus menunggu sembilan bulan,” ungkap Yoyok.
Produksi ikan patoin pun menurun akibat banyaknya pembudidaya yang beralih ke ikan hias. Namun, harga patin dari pembudidaya mulai kembali normal, yakni sekitar Rp 17.000 per kilogram.
Hal tersebut membuatnya yakin banyak warga yang mulai tertarik untuk kembali membudidaya ikan patin. Namun keinginan mereka juga kemungkinan besar terkendala dengan tidak adanya perusahaan yang mau menawarkan kemitraan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan tanpa tawaran kemitraan, yaitu warga harus menjadi pembudidaya mandiri. Artinya, biaya pakan hingga panen sepenuhnya harus mereka tanggung sendiri.
“Kalau kemitraan pakan ditanggung perusahaan, harga ditentukan di depan dengan perjanjian. Berapa pun naik turunnya harga saat panen, dibayar sesuai perjanjian,” papar Yoyok.
Kebutuhan pakan itulah yang menjadi masalah saat ini karena harganya yang semakin mahal. Dengan kondisi seperti ini, para pembudidaya mandiri tentu akan semakin kesulitan.
Yoyok pun tak yakin produksi patin bisa kembali normal dalam waktu dekat, jika harga pakan masih tinggi dan tidak ada tawaran yang datang dari kemitraan.
“Ke depan pasti kembali ke patin, karena lebih menguntungkan. Tapi sepertinya tidak dalam waktu dekat,” imbuhnya.
Sebelumnya, produk daging patin asal Tulungagung banyak diminati pasar karena memiliki kualitas yang bagus. Selain karena warnanya putih alami, daging ikan ini juga tidak beraroma tanah. Produk ikan patin dari daerah ini bahkan pernah dikirim ke tanah suci, untuk keperluan konsumsi jamaah haji.
Budidaya ikan patin merupakan salah satu upaya terbesar Tulungagung yang berfokus pada sektor perikanan. Terbukti, kini terdapat luasan lahan budidaya ikan patin sekitar 60 Ha dan menggerakkan kurang lebih 360 Rumah Tangga Pembudidaya (RTP).
Upaya peningkatan Tulungagung sebagai salah satu sentra budidaya ikan patin juga terus dilakukan dengan penggunaan ikan unggul hasil riset pemuliaan “patin Perkasa” melalui kegiatan riset pengembangan di masyarakat.
Riset dan pembesaran ikan patin ini dilakukan di dua tempat yaitu oleh pembudidaya Supangat yang merupakan anggota sekaligus sekretaris Asosiasi Pengusaha Catfish Tulungagung (APCITA), Desa Kendal bulur,Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, JawaTimur dan Suryani anggota APCITA di Dusun Kedungdowo, Desa Gesikan, Kecamatan Pakel, Tulungagung