Mediatani – Beras Srinuk adalah salah satu produk pertanian yang diunggulkan oleh Kabupaten Klaten. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo bahkan pernah mempopulerkannya ke publik.
Gubernur Ganjar pernah mendatangi salah satu petani beras Srinuk sebagai bentuk kepedulian pemerintah pada petani. Hal ini diungkapkan oleh Harjono asal Desa Kepanjen, Klaten, seorang petani beras Srinuk.
“Merasa diperhatikan pemerintah kaitannya dengan ketahanan pangan. Kita sebagai petani mengharapkan apa yang kita kerjakan itu bisa dilihat pemerintah,” ungkap Harjono, dilansir dari laman resmi Provinsi Jawa Tengah, pada Rabu (5/10/2022).
Beras Srinuk yang diperkenalkan oleh Ganjar ini, tambah Harjono, adalah beras sejenis Rojolele yang sudah direkayasa oleh Pemkab Klaten dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Hal itu pun membuat produk tersebut memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan beras Rojolele.
Beberapa kelebihan yang dimaksud adalah Srinuk hanya membutuhkan waktu sekitar tiga bulan sedangkan Rojolele memiliki umur tanam hingga lima bulan. Selain itu, Rojolele lebih tinggi dibanding Srinuk, sehingga lebih berpotensi dimakan burung dan terkena angin. Ukuran pendek Srinuk membuatnya aman dari gangguan burung dan tidak roboh.
Srinuk juga lebih wangi dan tingkat pulennya hampir sama dengan Rojolele. Bulir padinya bulat, namun agak pendek dibanding Rojolele. Banyak petani Klaten mengaku lebih untung menanam Srinuk. Petani bisa meraup pendapatan Rp 6 juta per hektare dalam sekali panen.
Sumiyem, seorang penjual bibit padi Srinuk mengakui bahwa bibit tersebut memang berkualitas, super dan besar, sehingga banyak petani yang memilih bibit tersebut.
Pemerintah Kabupaten Klaten melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kabupaten Klaten selaku pihak yang ikut meneliti beras Srinuk, intens berusaha agar beras ini menjadi lebih baik.
Kabid Litbang Bappedalitbang Kabupaten Klaten Muhammad Umar Said menyampaikan bahwa penelitian Srinuk ini dibantu oleh Batan yang didasari atas keprihatinan beras Rojolele yang mulai tidak diminati oleh petani.
Rojolele dinilai memiliki masa tanam yang panjang dibanding padi jenis lain. Batang tanaman padi ini juga terlalu panjang sehingga selalu terancam dimakan burung.
Bappedalitbang yang bekerja sama dengan Batan menawarkan solusi dengan membuat rekayasa jenis padi dengan fokus pada umur pendek cepat panen dan batangnya pendek.
Umar mengatakan, sejak 2013, proses penelitian sudah dimulai di kantor Batan, Jakarta. Penelitian dimulai dengan uji laboratorium, sampai 2016 riset skala laboratorium selesai. Dilanjutkan dengan uji tanam di Desa Gempol Karanganom Klaten.
Tahun 2019, pemkab akhirnya yakin ada tiga varietas yang sudah layak diusulkan ke Kementerian Pertanian. Umur tanaman tersebut lebih pendek, yakni sekitar 110 sampai 115 hari, batang lebih pendek, namun lebih memiliki rasa, pulen, wangi, serta lebih tahan terhadap hama daripada Rojolele lama.
Ketiga varietas ini diberi nama Rojolele Srinuk (Sri Dewi Padi Inuk), Rojolele Srinar (Sri Dewi Padi bersinar) dan Rojolele Sriten (Sri Dewi Padi Klaten). Tetapi saat sidang pelepasan di Kementan, Sriten dan Srinuk dinilai hampir sama sehingga dipilih salah satunya saja.