Pemulihan Mangrove Bengkalis Terhambat Pembabatan Liar, Begini Langkah BRGM

  • Bagikan
Pembabatan mangrove di Bengkalis. (Sumber: Tribunnews).

Mediatani – Pembabatan hutan mangrove secara liar masih marak terjadi di Desa Pematang Duku, Bengkalis, Riau. Padahal, pemerintah saat ini tengah gencar melaksanakan program percepatan rehabilitasi mangrove sebagai salah satu skema pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Ironinya, pembabatan hutan mangrove ini sengaja dilakukan untuk membuat tambak udang. Faktor kerusakan mangrove yang disebabkan oleh perilaku manusia sebelumnya cukup beragam, seperti pembuatan cerucuk dan pemukiman, namun kegiatan ini sudah dihentikan.

Ketua Kelompok Tani Mangrove Lestari Alam Khairul mengungkapkan bahwa pihaknya sangat kecewa dan tak berdaya melihat magrove yang dijaganya selama 20 tahun itu justru dibabat.

“Dari tahun 2002 bapak jaga mangove ini, batangnya sudah nampak besar-besar. Jadi bapak ini nampak menyesal lihat pembabatan ini,” ungkap Khairul dikutip dari Kontan.co.id, Senin (16/11).

Harapannya bersama 150 anggota dari Kelompok Tani Mangrove Lestari Alam untuk membuat ekowisata di hutan mangrove pun perlahan sirna. Ekowisata ini merupakan salah satu langkah untuk menjaga ekosistem mangrove sekaligus meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.

Khairul menyebutkan, dari 247 hektare hutan mangrove yang ada desanya itu, ada sekitar 5-7 hektare yang telah dibabat secara membabi buta.

Menurutnya, masih banyak masyarakat yang kurang memperhatikan bakau yang ada di sekitarnya. Sementara bakau yang bisa dilindunginya dari aksi pembabatan itu hanya bakau yang dijaga oleh kelompoknya.

“Tolong ini diusut sampai tuntas dan ditindak tegas secara hukum,” harap pria berusia 64 tahun ini.

Jika alih fungsi lahan mangrove ini tersebut terus dibiarkan, keberlangsungan mangrove ini dikhawatirkan akan terancam.

Coordinator of Wetlands Restoration and Community Development, Eko Budi Priyanto mengatakan pembukaan mangrove untuk dijadikan tambak udang ini sudah terjadi sejak tahun 2019. Ironisnya, tambak ini dibuat dengan pola silvofishery, namun 20% dari hutan yang sudah ada.

“Padahal seharusnya pola silvofishery itu dibuat dari lahan bakau yang rusak, lalu ditanam 80% mangrove baru budidayanya,” terang Eko.

Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa hal yang sangat sulit untuk mengembalikan hutan mangrove yang rusak. Penanaman merupakan satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk membuat organik di dalam tanah bisa muncul kembali dan menyehatkan tambak.

“Tapi kan cukup ironis kalau kita harus menanam lagi, padahal bisa mempertahankannya,” sambungnya.

Untuk mengatasi hal ini, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengajak para pembudidaya agar mengembangkan tambak dengan konsep yang ramah lingkungan. Dengan begitu, bisa mencegah pembabatan mangrove secara liar dan kelestarian ekosistem mangrove dapat terjaga.

Sementara itu, Kepala Kelompok Kerja Kerjasama, Hukum dan Hubungan Masyarakat BRGM, Didy Wurjanto menjelaskan bahwa berbagai upaya harus terus dilakukan untuk mencegah dan memberantas pembalakan liar. Apalagi Riau termasuk sebagai salah satu target daerah prioritas rehabilitasi mangrove.

“BRGM akan terus berupaya mempercepat penanaman mangrove, agar lahan mangrove yang rusak bisa kembali pulih,” ujar Didy.

Langkah lain yang dilakukan BRGM untuk mencegah kerusakan mangrove, yakni dengan mengedukasi masyarakat tentang ekosistem mangrove melalui program Sekolah Lapang Masyarakat Pengelolaan Mangrove dan Tambak Ramah Lingkungan.

“Program yang mengedukasi masyarakat tentang ekosistem mangrove dan pengelolaannya yang tidak merusak ekosistem. Jika program ini nantinya bisa diterapkan sepenuhnya oleh masyarakat, maka pembabatan mangrove dapat dihindari,” tambah Didy.

Salurkan Donasi

  • Bagikan
Exit mobile version