Mediatani – Asal ada niat dan usaha, setiap orang pasti bisa mengubah nasibnya. Termasuk mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) ini, Anton Supriyono (40), ia pernah terbelit utang hingga merantau menjadi tenaga kasar di perusahaan hortikultura Malaysia.
Warga Desa Cilongok, Banyumas itu membagikan sebuah kisah perjalananya menjadi konsultan pertanian sukses hingga bermimpi ingin mencetak banyak petani milenial.
Bersama istrinya Eni Anggraeni, ia meninggalkan kampung dan memilih merantau ke Malaysia pada 2009 silam. Di perusahaan hortikultura, keduanya masing-masing bekerja di bagian pengairan dan pengepakan.
“Usaha saya tidak bisa jalan dan terbelit hutang dan jalan satu satunya keluar dari kampung. Saat keluar negeri sama istri bekerja dalam satu perusahaan. Posisi saya saat itu tenaga kerja paling kasar paling bawah, saya bagian pengairan kalau istri bagian pengepakan di perusahaan holtikultura yang berada di Cameron Highland, Pahang, Malaysia,” kata Anton dilansir dari detikcom, Kamis (16/7/2020).
Anton dan istrinya bekerja dengan warga negara lainnya seperti dari India, Senegal, Kamboja, Laos dan beberapa rekan dari Indonesia. Dari perusahaan itu, Anton belajar menanam melon, tomat, kobis, dan cabai.
“Saat itu saya bagian vital bagian pengairan, karena bagian vital hanya diarahkan untuk anak-anak Indonesia. Kebetulan saya orang Indonesia yang lainnya orang Nepal, Myanmar, tulisan mereka tulisan negara masing-masing, bukan bahasa latin dan orang Indonesia bisa baca tulisan latin,” jelasnya.
Pria lulusan SMK itu lalu belajar pemupukan, tata cara tanam di perusahaan tersebut. Hingga akhirnya dia mendapat kesempatan membantu para profesor pertanian asal China, Filipina, dan Amerika yang direkrut perusahaan untuk menangani kualitas tanaman.
“Di situ akhirnya saya dipilih, orang Indonesia yang bisa baca. Akhirnya saya pegang semuanya mulai dari masalah nutrisi, obat, cara tanam, jenis tanaman sampai mulai takaran-takarannya dan lain-lain dari situ akhirnya saya belajar,” kenangnya.
Memanfaatkan kesempatan itu, Anton pun belajar secara otodidak soal ramuan nutrisi untuk tanaman yang kerap layu sebelum panen besar. Seiring berjalannya waktu, Anton memutuskan kembali ke Indonesia. Upahnya bekerja selama 4,5 tahun di negeri jiran dia gunakan untuk melunasi utangnya.
Namun tak begitu berjalan mulus, Anton dan istrinya mulai gelisah karena kesulitan mencari pekerjaan di Indonesia. Dia dan istrinya akhirnya memutuskan untuk kembali ke Malaysia dan bekerja di perusahaan yang sama.
Saat kembali ke Malaysia, perusahaan hortikultura tersebut tengah panen besar. Namun tanaman tomat itu dilanda layu hebat, tiga orang profesor pun gagal menangani permasalahan itu. Dia lalu mencoba meramu nutrisi untuk tanaman tomat itu. Tak disangka, ramuannya itu mujarab. Tanaman tomat yang layu serta tanaman lain yang sudah waktunya panen pun siap dipetik.
Tomat yang tadinya dengan metode profesor mampu panen sebanyak 3 ton, setelah menggunakan metode Anton, perusahaan itu bisa panen dua kali lipat per dua hari sekali panen. Berkat menangani tomat itu, ia lantas meraih apresiasi dari para profesor.
Selain itu, warga Desa Cilongok, Banyumas itu gajinya pun naik dari sekitar Rp 2,5 juta menjadi Rp 4 juta per bulan. Dari situ dia mulai mengupload teknik pertaniannya ke media sosial. Akunnya pun banjir permintaan agar mengembangkan pertanian itu ke Indonesia.
“Saya coba upload di medsos tentang pertanian yang saya kuasai itu, lalu banyak orang respon, hingga suatu saat ada yang menghubungi dan diajak ngurus tanaman pertanian di Indonesia. ‘Pulang, ngapain di negara orang, sini pulang saja ke negara sendiri’, itu orang Bali (yang menghubunginya),” urai Anton.
Tak hanya dari Indonesia, dari media sosial itu dia juga mendapat banyak tawaran menjadi konsultan pertanian dari perusahaan asing di Malaysia, India hingga Brunei Darussalam. Namun, Anton akhirnya memutuskan pulang kampung dan mengembangkan pertanian dengan sistem irigasi tetes itu.
Anton menceritakan, awal mula pertanian yang dibantunya adalah Agro Farm Bandungan di Semarang yang membudidayakan paprika, tomat dan sayur. Setelah berhasil, ia kemudian ditarik oleh orang Bali untuk membudidayakan tomat.
Dari sini Anton mulai mengembangkan komunitas hidroponik center di Purwokerto dan pertanian stroberi di Desa Serang, Purbalingga yang dikelola BUMDes. Namun, ia sadar sistem yang diterapkannya masih dinilai terlalu mahal di Indonesia. Dia pun putar otak mencari media pengganti berkualitas dengan yang terjangkau.
“Kalau di sini saya akali menggunakan alat sederhana tapi lebih presisi dari alat-alat otomatik dan tidak kalah, malah lebih murah. Kalau di luar alatnya saja Rp 200 jutaan, di Indonesia saya akali paling Rp 5 juta cukup,” jelasnya.
“Lalu di sini banyak petani-petani padi, dari pada sekam dibuang akhirnya saya pakai sekam saja lebih murah cuma 3 ribu dari pada pakai rookbul lebih mahal. Itu untuk meminimalisir biaya produksi, agar petani lebih maju dengan kualitas yang lebih bagus,” sambungnya.
Anton pun berharap ilmunya itu bisa diaplikasikan oleh para petani lainnya. Dia kini kerap mendampingi karang taruna desanya untuk bertani modern dengan harapan bisa mencetak lebih banyak generasi petani milenial.
“Intinya jangan lagi pemuda-pemuda malas bertani, bertani itu bukan sekedar kotor lalu pakai cangkul. Ada yang lebih modern lagi, bagaimana biar petani muda itu lebih seneng bertani dengan sistem yang lebih modern yang disederhanakan,” jelasnya.
Dia mengajak semua petani Indonesia agar bisa menjual hasil panennya lewat sistem daring tanpa melewati tengkulak. Dia teringat bagaimana petani di Bali bisa menjual hasil panennya ke supermarket dengan harga mahal.
“Bagaimana supaya petani petani itu bisa jualan secara online, jadi tidak perlu ke tengkulak-tengkulak yang selalu ngepres harga. Dengan menjual sendiri, jadi harga sayur bisa terpantau dan memberikan harga yang lebih bagus dan adil,” ucapnya.
Salah satu anggota Karang Taruna Tekad Sembada 4 Sigit Priyono mengaku terbantu dengan kehadiran Anton. Dia mengapresiasi bantuan Anton dari pendampingan hingga permodalan.
“Awalnya memang pemuda sini bingung karena tidak ada arahan, action sudah ada walaupun masih tahap belajar. Kita mandiri dulu berawal dari urunan anak-anak dari uang pribadi masing-masing untuk sewa lahan,” kata Sigit.
Saat ini dirinya terus berupaya mengajak pemuda di desanya meskipun belum semuanya untuk mau bertani.
“Ini kita ajak anak-anak yang mau dan senang pertanian dulu, lambat laun ada harapan pemuda lain akan ikut juga. Sedikit-sedikit (belajar), tadinya saya open filed pola tanam organik, sekarang sudah mulai belajar yang hidroponik, nutrisi,” tambahnya.