Petani Kehilangan Panen, Padi Tegak Tapi Hasil Menurun

Masalah Produksi Padi di Desa Jagapura Lor Mengundang Kekhawatiran Petani

Musim tanam I tahun 2025 di Desa Jagapura Lor, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, telah menghadirkan tantangan baru bagi para petani setempat. Tidak hanya terjadi penurunan hasil panen, tetapi juga muncul fenomena yang tidak biasa dan memicu kebingungan di kalangan petani.

Produktivitas padi di wilayah tersebut turun secara signifikan. Rata-rata hasil panen mencapai 3,5 ton per bahu atau sekitar 5,7 ton per hektare. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu, di mana hasil panen berkisar antara 5 hingga 5,5 ton per bahu atau 7,1 hingga 7,8 ton per hektare. Penurunan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai ketersediaan dukungan dari pihak berwenang.

Salah satu petani yang enggan disebutkan identitasnya mengungkapkan pengalaman aneh yang dialami selama musim tanam kali ini. “Kami sudah bertani lebih dari 20 tahun, tapi baru kali ini melihat padi yang seminggu sebelum panen kembali tegak padahal biasanya makin merunduk. Tanah juga terasa hangat, seolah ada sesuatu yang berubah,” katanya.

Fenomena ini menyebabkan petani memilih untuk memanen lebih cepat dari jadwal yang biasanya ditetapkan. Namun, hasilnya justru tidak maksimal karena gabah tidak berisi penuh. Hal ini menunjukkan bahwa meski tanaman tampak sehat, kondisi gabah tidak optimal.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, Deni Nurcahya, mengakui adanya keanehan yang dilaporkan oleh Ketua Kelompok Tani (Poktan) Dewi Sinta, H Muzammil. Menurutnya, petani mengaku belum pernah mengalami situasi serupa sebelumnya. “Tanaman sehat, tapi gabah tidak padat,” ujarnya.

Meskipun tidak terjadi gagal panen, penurunan hasil mencapai 2 ton per bahu atau sekitar 2,85 ton per hektare di sebagian kecil area sawah. Di tengah situasi ini, harga gabah yang tinggi menjadi penyelamat bagi para petani. Gabah Kering Giling (GKG) dijual dengan harga Rp8.300/kg, sedangkan Gabah Kering Panen (GKP) dijual Rp7.100/kg.

Namun, masalah lain juga muncul: minimnya sarana pasca panen. Hidayatullah, perwakilan Poktan Dewi Sri, mengeluhkan antrean panjang dalam menggunakan mesin combine harvester. “Kami harus antre lama. Sementara padi yang sudah waktunya panen malah jadi rusak kalau terlambat,” keluhnya.

Petani kini mendesak pemerintah agar segera bertindak, baik melalui penelitian terkait fenomena aneh tersebut maupun penyediaan sarana pasca panen. “Kalau ini dibiarkan, musim tanam berikutnya bisa lebih parah,” kata salah satu petani.

Dinas Pertanian berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut, namun hingga saat ini belum ada kepastian langkah konkret yang akan diambil. Situasi ini menunjukkan bahwa perlu adanya intervensi lebih lanjut untuk menjaga stabilitas produksi pertanian di wilayah tersebut.

Salurkan Donasi

Exit mobile version