Mediatani – Diketahui terdapat ratusan anjungan migas lepas pantai (AMLP) yang tidak beroperasi alias menganggur di berbagai titik di laut Indonesia. Semua anjungan tersebut sudah mendekati masa akhir produksinya dan dianggap harus segera dibongkar.
Namun demikian, di industri ekstratif migas sedang berkembang tren untuk tidak lagi melakukan pembongkaran melainkan memanfaatkanya untuk kebutuhan sarana lainnya, termasuk di sektor kelautan dan perikanan.
Untuk itu, Pemerintah bersama operator migas mendonasikan struktur bangunan AMPL tersebut untuk dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perikanan lepas pantai (off-shore aquaculture), stasiun pemantauan laut (research-based station), rescue base, energi alternatif dari ombak/angin dan sinar matahari, pariwisata (dive spots), dan terumbu karang buatan (artificial reef).
Sebelum melaksanakannya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terlebih dahulu melakukan kajian pemanfaatan anjungan migas lepas pantai pasca-produksi itu. Beberapa aspek yang telah dikaji, diantaranya yaitu aspek kebijakan, perhitungan biaya pembongkaran, dan feasibility study (FS) terutama untuk program Rig-to-Fish Farm.
Kepala Pusat Riset Kelautan (Pusriskel) KKP, I Nyoman Radiarta, dalam keterangannya, Kamis (4/2/2021) mengatakan, sejak 2017, pihaknya telah bekerja sama dengan Korea Maritime and Ocean University Consortium (KMOUC), untuk meeneliti dan melakukan studi tentang pemanfaatan kembali anjungan lepas pantai yang ditinggalkan untuk program terumbu karang.
SKK MIGAS mencatat, terdapat kurang lebih 600 anjungan migas lepas pantai yang tersebar di berbagai wilayah perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut, 18 persennya sudah berumur antara 21-30 tahun dan 53 persen telah berumur lebih dari 30 tahun.
Sehingga, jika diakumulasi anjungan migas yang sudah berumur lebih dari 20 tahun adalah 71 persen atau sebanyak 389 unit. Karena banyaknya bekas anjungan migas yang terus tidak beroperasi inilah yang membuat KKP melakukan pengkajian.
“Pada 2019, KKP dan KMOUC sepakat membentuk Korea – Indonesia Offshore Research Cooperation Center (KIORCC) dengan fokus kerja sama pada isu yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan, serta capacity building dan bridging platform untuk kerja sama sektor Industri Indonesia – Korea Selatan,” paparnya.
Nyoman menjelaskan, dengan memanfaatkan anjungan migas pasca-produksi untuk budidaya laut, pengelolaannya dapat dilakukan secara terintegrasi dan secara komprehensif. Hal tersebut juga berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dilibatkan dalam beberapa segmen kegiatan.
Ia menyebut, beberapa segmen kegiatan yang berpotensi untuk dikembangkan, antara lain produksi benih, kegiatan pembibitan, usaha penyiapan induk, pemeliharaan ikan, pakan, serta pengangkutan benih dan induk.
Dari sudut pandang perikanan, alternatif kegiatan yang paling sesuai untuk dikembangkan adalah mengubah struktur laut tersebut menjadi terumbu buatan atau program Rig-to-Reef (R2R) dan budidaya perikanan atau Rig-to-Fish Farm (R2F).
Selama tahun 2020 hingga 2021 ini, Pusat Riset Kelautan (Pusriskel), Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP, akan mengkaji pemanfaatan anjungan migas yang sudah tidak aktif di Blok Kangean (Jawa Timur).
Kajian yang dilakukan ini untuk budidaya perikanan lepas pantai sekaligus diproyeksikan sebagai gudang pakan, control room bagi smart aquaculture, stasiun pengisian bahan bakar, sumber air bersih (desalinasi), cold storage, tambatan perahu yang mampu memberi perlindungan saat cuaca buruk, serta layanan perizinan.
“Output yang kami harapkan adalah rumusan rekomendasi kegiatan dan analisa yang dibutuhkan dalam penyusunan business plan bagi pemanfaatan AMLP pasca-produksi untuk budidaya perikanan lepas pantai, sebagai solusi kepada Pemerintah, untuk bagaimana mengelola anjungan migas yang terlantar dan menganggur yang menjadi kendala selama beberapa tahun,” terang Nyoman.